Masa Keemasan Kesultanan Banten
Michrob dan Chudari menyebutkan (dalam Lubis, 2003:46) bahwa pada pertengahan abad ke 17 Masehi, tanggal 10 Maret 1651 Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir meninggal dunia, jenazahnya dikuburkan di Kenari. Berdekatan dengan makam ibunya dan putra kesayangannya, sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang wafat pada tahun
Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M
1650. Dari perkawinan dengan Ratu Martakusuma (putri Pangeran Jayakarta), Sultan Abdulkadir mempunyai enam anak yaitu Ratu Kulo, Ratu Pembayun, Pangeran Surya, Pangeran Arya Kulon, Pangeran Lor, dan Pangeran Raja. Sementara dari istrinya yang lain, Ratu Aminah (Ratu Wetan) Sultan mempunyai beberapa anak yaitu Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten, Ratu Tinumpuk. Masih ada lagi anak dari istri yang lain.
Sebagai pengganti Sultan Abdulkadir yang mangkat, maka diangkatlah pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, menjadi Sultan Banten yang kelima pada tanggal 10 Maret 1651. Sultan baru ini dikenal sebagai Pangeran Ratu ing Banten, atau Sultan Abulfath Abdulfattah, gelar lengkapnya adalah Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina al Arifin. Sultan itu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672), adalah seorang yang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa menaruh perhatian yang besar pada perkembangan pendidikan agma islam. Untuk membina mental prajurit banten, ia mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut ialah ulama besar Makassar, yang bernama Syeikh yusuf, yang dikenal dalam tradisi Makassar sebagai Tuanta Salamaka atau Syeikh Yusuf Taju’l Khalwati. Ia kemudia dijadikan mufti agung, guru, dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah pemerintahannya, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Meskipun disebutkan dengan urusan konflik dengan VOC, Sultan tetap melakukan upaya-upaya pembangunan dengan membuat Saluran Air dari Sungai Untung Jawa hingga ke Pontang. Saluran yang mulai digali tahun 1660 ini dimaksudkan untuk kepentingan irigasi dan memudahkan transportasi dan peperangan. Upaya itu berarti pula meningkatkan produksi pertanian yang erat dengannya. Dengan kesejahteraan rakyat dan kepentingan logistic jika menghadapi peperangan. Karena Sultan banyak mengusahakan pengairan dengan melaksanakan penggalian-penggalian saluran-saluran menghubungkan sungai-sungai yang membentang sepanjang pesisir utara, maka atas jasa-jasanya ia digelari Sultan Ageng Tirtayasa (Tjandrasasmita, 1995:116).
Sultan Ageng Tirtayasa juga melakukan konsolidasi pemerintahannya dengan mengadakan hubungan persahabatan antara lain dengan Lampung, Bengkulu dan Cirebon. Hubungan pelayaran dan perdagangan dengan Kerajaan Gowa, dengan sumber rempah-rempah di Maluku–meskipun menurut perjanjian dengan VOC tidak diperbolehkan–tetap dilakukan.
Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang Politik, Diplomasi, maupun di bidang Pelayaran dan Perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin ditingkatkan Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang Asing dari Persi (Iran), Arab, India, Cina, Jepang, Filipina, Melayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki.
EmoticonEmoticon