Masyarakat Multikultural
Keberadaan Banten lama sebagai pusat kesultanan dan kota bandar yang dilengkapi dengan berbagai sarana diberitakan jelas oleh Belanda ketika mengirimkan ekspedisi pertamanya menuju Banten di bawah Corenelis de Houtman. Houtman menggambarkan keberadaan kota Banten sebagai keraton, masjid, alun-alun, pasar, pelabuhan, jalan, serta perdagangan di pasar Karangantu, perkampungan penduduk dari berbagai tempat di Indonesia. Kala itu, struktur masyarakat Banten amat multietnis, yakni yang berasal dari Melayu, Benggala, Gujarat, Abesenia, Cina, Arab, Pegu, Turki, Persia, Belanda, Portugis, dan para pedagang dari Nusantara seperti dari Ambong, Belanda, Maluku, Selor, Makasar, Sumbawa, Jaratan, Gersik, Pati, Sumatera, dan Kalimantan (Republika,tt).
Beragam etnis yang tinggal di wilayah Banten menyebabkan terjadinya interaksi antar bangsa dan budaya dalam masyarakat yang bisa berpotensi terjadinya integrasi maupun konflik sosial. Namun, bukti-bukti terjadinya konflik masih sangat minim ditemukan. Akan tetapi sebaliknya, bukti integrasi dan toleransi sangat mungkin bisa terlihat oleh peninggalan budaya di Banten. Seperti bangunan Vihara Avalokitesyara dan Masjid Pecinan Tinggi yang menampakkan adanya toleransi sosial dalam masyarakat yang saling menghormati dan memahami perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat.
Meskipun demikian, pengelompokkan tempat tinggal berdasarkan etnis juga dilakukan agar meminimalisir terjadinya konflik antar etnis yang bisa disebabkan oleh profesi maupun persaingan ekonomi.
EmoticonEmoticon