SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( "PRANATA EKONOMI" Perkembangan Ekonomi Kesultanan Banten )



PRANATA EKONOMI

Perkembangan Ekonomi Kesultanan Banten

Kota Banten awal mulai tumbuh sekitar abad 11-12. Ketika itu banten sudah menjadi pemukiman urban yang penting, yang dilengkapi dengan parit dan benteng tanah. Masyarakat dalam pemukiman itu melakukan kegiatan kerajinan dari pakaian sampai tembikar, peleburan besi dan perunggu, perhiasan emas, dan manik. Keramik yang ditemukan menunjukkan bahwa hubungan dengan Cina dan daerah di Asia Tenggara lainnya sudah terjalin. Tembok pertahanan kota didirikan pula terbuat dari batu Bata dan Karang.

Sampai kehadiran Tome Pires (1512-1515) banten masih merupakan bagian dari kerajaan Sunda Pajajaran dan kerajaan Sunda Pajajaran merupakan salah satu diantara pelabuhan yang pernah disinggahinya. Dari pelabuhan Banten diekspor komoditas utama yakni lada dan beras, sebaliknya pelabuhan ini didatangi para pedagang dari Kepulauan Maladiva, Sumatra, dan lainnya. Terutama sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Menurut Sajarah Banten kota Banten Girang direbut oleh Muslim dibawah pimpinan Maulana Hassanudin. (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010). Dan semenjak saat itu, pelabuhan Banten diatur oleh pemerintahan Muslim.

Perkembangan selanjutnya dari kota Banten berlangsung di pesisir, ditandai dengan perubahan pemerintahan dan keagamaan Islam. Hal ini juga dilukiskan bahwa setelah Hassanudin wafat, Maulana yusuf memegang pemerintahan dengan membangun kampung baru, sawah, ladang dan terusan-terusan dan bendungan. Daerah takhlukan raja-raja Banten ini ternyata adalah wilayah penghasil merica. Perdagangan merica itu membuat Banten menjadi penghasil merica yang besar di sepanjang pesisir Jawa (Graaf dan Piageud: 1989). Sebelumnya ibukota Banten yang terletak di Banten Girang dipindahkan ke ibukota Surasowan di Teluk Banten yang sangat Strategis. Dengan penguasaan Malaka dan Portugis, Banten makin berarti bagi pelayaran dan perdagangan internasional bagi selat Sunda.

Selanjutnya Ten Dam mengemukakan pada zaman kerajaan Sunda, sungai-sungai yang mengalir dari pedalaman ke utara Jawa dimanfaatkan sebagai jalur hubungan antara Pajajaran dan Banten Girang. Dengan demikian, meskipun letak banten Girang agak pedalaman, kelancaran komunikasi dengan kawasan pesisir bukan merupakan kendala transportasi pada saat itu (Untoro, 2007:26).

Menurut berita Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian besar lada dan hasil negeri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan dan menjadi pusat perkembangan pemerintah Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad (Jakarta.go.id, 2010).

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 menyebabkan timbulnya penyebaran pusat-pusat perdagangan yang semula hanya berpusat di Malaka, yaitu Indonesia bagian Barat, menjadi ke arah utara yaitu di Aceh dan di arah Selatan yaitu di Banten. Faktor utama yang mendorong tampilnya Banten sebagai pusat perdagangan sudah tentu karena letaknya yang strategis selain itu juga dapat sebagai pintu gerbang bagi pelayaran perdagangan yang langsung menuju Samudra Indonesia. Banten yang letaknya jauh dari Mataram sehingga dapat terhindar dari serangannya, akan lebih mudah berkembang dengan lebih leluasa, selain itu Banten menjadi tempat pelarian bagi pedagang-pedagang di pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam masa pembentukan jalur pelayaran, wajar bila bandar Banten dikaitkan dengan Jalur Sutra (silky road). Sebelum Islam datang daerah pesisir Banten sudah merupakan Bandar Internasional. Banten menjadi pusat pengiriman dan pengumpulan barang-barang perdagangan dari luar Negri. Beras, berasal dari Jawa dan Makassar, garam dari Jawa Timur, gula dari Jayakarta dan Jepara, ikan kering dari Karawang dan Banjarmasin, kayu cendana dari sunda kecil, rempah-rempah dari Maluku, timah dari Karimata dan Malaya lada dari Lampung, Indrapura dan Palembang, Besi dari Karimata, minyak Kelapa dari Blambangan, Gading dari Sumatra dan tenunan dari Bali dan Sumbawa. Sedang komoditas dari luar negri adalah porselen, beludru, sutra, benang, kain-cita, kipas, uang kepeng, dan lain-lain dari Cina, permata dan obat-obatan dari Persia, kain, kapas, sutera Batik–Koromandel dari India. (Daliman: 2012)

Willem Lodewycks (1596) menyebutkan bahwa di kota Banten terdapat 3 pasar harian yang digunakan untuk kegiatan perdagangan, antara lain:

1) Pasar yang terletak disebelah timur kota (Karangantu) merupakan pasar terbesar dan pasar umum. Disana banyak ditemukan pedagang-pedagang asing dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Quilon (India), Pegu (Birma), Melayu, Benggala, Gujarat, Malabar, Abesinia, dan dari seluruh nusantara. Mereka berdagang sampai pukul sembilan pagi.

2) Pasar kedua terletak di Alun-alun dekat masjid agung, yang dibuka sampai tengah hari bahkan sampai sore. Di pasar ini, diperdagangkan merica, buah-buahan, senjata keris, tombak, pisau, meriam kecil, kayu cendana, tekstil, kain putih untuk bahan batik, binatang peliharaan, kambing dan sayuran. Demikian besarnya pasar kedua ini sehingga ujungnya hampir menyambung dengan pasar pertama pelabuhan.

3) Pasar ketiga terletak di daerah Pecinan yang dibuka setiap hari sampai malam yang terletak di bagian selatan kota. Wilayah itu merupakan tempat tinggal para saudagar Cina. Mereka memiliki rumah megah, gudang barang, kapal dan budak belian. Begitu pula orang-orang India, Bugis, Banda, Ternate, Banjar, Makassar, dan Jawa Timur banyak yang bertempat tinggal diluar kota Banten
Sedangkan toponim-toponim jenis perdagangan yang ada pada kesultanan Banten adalah.
1) Pamarican (tempat menjual merica)
2) Pabean (tempat pelabuhan/tol pembayaran pajak)
3) Pasar Anyar (tempat pasar masyarakat)

Beberapa jenis pasar yang ada di Banten masa itu ditinjau sudut pandang ilmu Ekonomi adalah adanya Pasar Harian dan Pasar Musiman, didasarkan pada kategori penyelenggaraannya. Serta Pasar Setempat dan Pasar Internasional, berdasarkan jenis keterlibatan pihak.
Mengenai takaran yang digunakan untuk berdagang disebutkan ada istilah Gantang beratnya sama dengan 3 pon lada menurut takaran Belanda. Disamping itu juga ada pasar kacang putih, kuning, hitam, abu-abu dengan ukuran 3 ratus kepeng.

Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten telah merupakan tempat berniaga penting dalam perniagaan internasional di Asia. Kedudukan penguasa setempat ditunjang oleh kaum bangsawan, yang mempunyai kekuatan lokal, sedangkan administrasi pelabuhan, perkapalan, dan perniagaan diurus oleh Syahbandar. Kegiatan perniagaan dilakukan di pasar pada waktu siang dan malam. Kegiatan transaksi pagi hari misalnya, diadakan di lapangan pasar yang terletak disebelah timur kota di luar pintu gerbang (Lubis, 2003).

Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan Loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda. Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di Banten.
Kegiatan ekonomi, dan perdagangan Banten mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam bidang perdagangan internasional Kesultanan Banten makin dikembangkan ketika berhubungan dagang dengan negeri-negeri Iran, Hindustan, Arab, Inggris Perancis, Denmark, Jepang, Pegu, Filipina Cina dan Sebagainya. (Poesponegoro&Notosusanto, 2010) semakin maju dan luasnya perdagangan Banten, membuat Sultan Ageng Tirtayasa semakin meluaskan daerah kekuasaannya hingga menyebrangi lautan.

Pada jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

Mata-uang dari Kesultanan banten pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini. Menurut gambar yang diakses di laman (IndoCorpCircles.wordpress.com), mata uang yang berlaku pada masa kesultanan Banten abad ke-15 M adalah Uang Kasha.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »