SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( "PRANATA SOSIAL MASYARAKAT" )


Sistem Sosial Masyarakat

Kota Banten menjadi ramai karena terletak pada jalur perdagangan internasional dan merupakan penghasil komoditas lada. Para pedagang asing yang datang ke Banten, selain berdagang juga mencatat keadaan kota. Oleh karenanya, di Banten utamanya di wilayah pelabuhan dagang terdapat berbagai macam bangsa yang singgah baik untuk berdagang ataupun juga untuk menetap sementara. Hal inilah yang memicu beragam hubungan sosial yang ada di Banten.

Hasil interpretasi beberapa sumber menyebutkan jika sistem sosial yang ada di Kesultanan Banten cenderung terklasifikasi ke dalam beberapa hierarki yang menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial. Juga dengan beragamnya bangsa yang menetap, bisa berpotensi pula terjadi diferensiasi sosial.
Stratifikasi sosial atau pengelompokkan sosial secara hierarki terdapat pada pola hubungan di Banten, dibuktikan dengan adanya tingkatan status yang dimiliki oleh setiap masyarakatnya. Hal ini paling menonjol terletak pada sistem peran sosial dalam struktur pemerintahan.

Status sosial yang dimiliki oleh seseorang, akan mempengaruhi peran dan caranya untuk berinteraksi dengan orang lain. Seperti halnya Sultan yang tidak semua golongan bisa berinteraksi langsung dengannya. Selain itu, hal ini juga terlihat dari toponim tempat tinggal oleh masyarakat yang terkelompokkan dalam pola pemukiman yang berkelompok berdasarkan oleh status sosial yang dimiliki, toponim tersebut adalah.


  • Kawangsaan (tempat tinggal Pangeran Wangsa)
  • Kapurban (tempat tinggal Pangeran Prabu)
  • Kamandalikan (tempat tinggal Pangeran Mandalika)
  • Kawiragunan (tempat tinggal Pangeran Wiraguna)
  • Kaloran (tempat tinggal Pangeran Lor)
  • Kasunyatan (tempat tinggal Ulama Istana)

Di kota Banten dibagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan status sosial, ekonomi, keagamaan, dan hierarki kekuasaan. Sementara itu, perkampungan orang asing atau pendatang ditentukan oleh masing-masing penguasa. Pekojan di barat pasar kuno Karangantu. Kemudian ada kampong orang Bali disebut Kebalen, dan tempat orang Cina disebut Pecinan. Pada waktu itu orang Portugis bergabung dengan orang Cina. Termasuk orang asing di Banten, yakni orang Melayu, Benggala, Gujarat, Abseninia (Boedhihartono, 2009:141).

  • Pajantran (tempat kaum penenun)
  • Kagongan (tempat pembuat gong)
  • Kasatrian (tempat bermukimnya para prajurit)

Toponim berdasar etnis, seperti.

  • Pakojan (perkampungan orang-orang Koja)
  • Pacinan (perkampungan orang-orang Cina)
  • Kebalem (perkampungan orang-orang Bali)
  • Karoya (perkampungan orang-orang Kroya)
  • Kasemen (perkampungan orang-orang Kasemen/Pribumi)

Toponim kegiatan ekonomi tertentu, seperti.

  • Pamarican (tempat menjual merica)
  • Pabean (tempat pelabuhan/tol pembayaran pajak)
  • Pasar Anyar (tempat pasar masyarakat)

Berkembangnya perekonomian Banten yang didukung oleh pelabuhan ramai dan kondisi geografis yang strategis, menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial, yakni ditunjukkannya perilaku golongan kesultanan, dan para bangsawan juga pegawai pemerintahan yang memiliki gaya hidup yang lebih Hedonistik (keduniawian). Kondisi tersebut didukung oleh temuan arkeologis pecahan-pecahan keramik Cina yang memiliki nilai jual tinggi yang ditemukan di situs-situs reruntuntuhan keraton dan di wilayah sekitar keraton yang dimungkinkan adalah wilayah bermukimnya pada bangsawan (Untoro, 2007).

Penemuan keramik Cina tersebut, mungkin tidak bisa sepenuhnya digunakan sebagai dasar untuk merekonstruksi sistem sosial masyarakat Banten. Akan tetapi, hal tersebut dapat dijadikan sebagai interpretasi sementara untuk melukiskan sistem sosial masyarakat Banten Islam. Sehingga, bisa saja hipotesis yang ada tersebut bisa diubah ketika ditemukannya bukti arkeologis maupun manuskrip baru.

Selain itu pula dapat disebutkan jika kesejahteraan sosial masyarakat Banten Islam mengalami penurunan diakibatkan oleh eksploitasi buruh yang disebabkan oleh peningkatan permintaan lada di Banten. Hal ini memicu semakin banyaknya masyarakat yang dijadikan sebagai Buruh ataupun Budak. Sehingga mendorong produktivitas komoditi Lada yang dihasilkan oleh Banten. Hal tersebut juga bisa memicu timbulnya kesenjangan sosial antara para bangsawan yang memegang laju perdagangan dan para kaum buruh yang bekerja ekstra. Secara sosial, para bangsawan akan bersikap semena-mena ketika penghasilannya semakin meningkat dan mulai berperilaku hedonis.

Pada masa Banten masih menjadi bagian dari Sunda Padjajaran, masyarakat Banten umumnya berbicara dengan menggunakan bahasa Sunda sebagai layaknya orang Baduy saat ini. Di kemudian hari sejak Banten diislamkan oleh Demak, maka mungkin perubahan bahasa digunakan di daerah ini, berubah karena kehadiran orang-orang Jawa atau pendatang dari Lampung sehingga pada saat ini ada tiga bahasa yang dikenal masyarakat Banten, yakni Jawa Pesisiran, Sunda ala Baduy, dan bahasa Lampung (Boedhihartono, 2009:145).

Perumahan di dekat keraton dan alun-alun adalah perumahan kaum bangsawan dan kerabat raja. Di sekeliling dalem ini terdapat perumahan bagi para pengikutnya, pola yang biasa dengan keadaan di Jawa. Orang asing pada umumnya menempati perumahan di luar tembok benteng. Di sisi barat terdapat Pacinan, yaitu perumahan orang-orang Cina. Di sini pula, di seberang sungai berjajar perumahan warga Belanda dan Inggris. Semua bangunan di kawasan perumahan tidak diperkenankan menggunakan bahan batu atau bata karena penguasa selalu mengkhawatirkan kemungkinan dijadikan bangunan pertahanan (Wirjomartono dkk, 2009:289).

Berkenaan dengan keadaan masyarakat, secara lugas Tjandrasasmita (dalam Untoro, 2007:27) memilahnya menjadi empat golongan, yakni.

1) Golongan Sultan dan Keluarganya, merupakan kelompok sosial yang hanya beranggotakan kalangan keturunan sultan yang masih memiliki hubungan darah dengan leluhur pendiri kesultanan, yakni para Sultan dan Bangsawan yang memiliki kekerabatan yang cukup dekat. Meskipun beranggotakan dengan jumlah yang sedikit, namun peranannya sangat penting dalam struktur birokrasi Kesultanan Banten

2) Golongan Elit, merupakan kelompok sosial yang beranggotakan para bangsawan, saudagar dan pedagang kaya, syahbandar dan pemegang kekuasaan yang memiliki peran penting di Kesultanan Banten. Golongan ini juga turut memiliki peran dalam pemerintahan dan perdagangan, namun tidak tergolong kelompok inti kesultanan.

3) Golongan non-Elit, merupakan kelompok sosial yang memiliki jumlah terbesar yakni golongan kaum pedangang, petani, nelayan, masyarakat biasa, golongan masyarakat asing, dan kaum-kaum di luar golongan elit dan kerajaan yang tergolong dalam tipe masyarakat Banten secara umum.
4) Golongan Budak, merupakan golongan pekerja kasar yang biasanya dijadikan sebagai buruh dan budak belian.

Selain adanya Stratifikasi dalam masyarakat, terdapat pula sistem diferensiasi sosial dengan pola kelompok yang horizontal. Terlihat di situs Banten Lama. Menurut data toponim yang terdapat klasifikasi kelompok berdasar profesi, seperti.

  • Kapakihan (tempat tinggal ulama)
  • Pajaringan (tempat membuat jarring atau jala)
  • Pratok (tempat pengrajin membuat tempurung kelapa)
  • Pasulaman (tempat tukang sulam)
  • Pamarangan (tempat membuat keris)
  • Pawilahan (tempat pengrajin bamboo)
  • Pakawatan (tempat membuat jala)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »