Struktur Politik Kesultanan Banten
Sebagai kerajaan Islam, Banten juga dapat dikatakan mempunyai struktur pemerintahan yang mirip dengan Demak sebagai kerajaan famili Banten yang juga bernafaskan Islam. Dengan pemimpin tertinggi adalah Sultan, yang sama dengan kekhalifahan Turki pada masa yang sama. Guillot (2008:108) menyebutkan bahwa pada masa sebelum 1638 sistem pemerintahan masih dikepalai oleh seorang raja dengan gelar “Pangeran Ratu” Guillot (2008:109) juga menjelaskan adanya kementerian yang dimiliki oleh sistem pemerintahan, yakni Pati Jero (Perdana Menteri Dalam Negeri), Pati Jaba (Perdana Menteri Luar Negeri), dan “Perdana Menteri Bangsawan”.
Patih Jero (Perdana Menteri Dalam Negeri), adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang benar-benar menangani urusan-urusan “dalam istana” dan keluarga raja atau sultan (Santana). Di Banten ia memiliki gelar yang disebut sebagai Mangkubumi dan memiliki nama panggilan “Pangeran Pepatih” (atau panggilan lamanya Upapatih) yang disetarakan sebagai pembantu dan pendamping raja.
Patih Jaba (Perdana Menteri Luar Negeri), pemegang pemerintahan yang bukan berasal dari “dalam” istana atau “bukan bangsawan” yang menangani segala urusan, sepanjang tidak berhubungan dengan kaum bangsawan. Dapat diartikan pula ia memiliki kewenangan mengenai orang asing, seperti mengenai urusan dagang. Sehingga kekuasaanya terbilang luas. Kaum ini tidak lain sebagai “pegawai-pegawai pemerintahan” yang dinamakan ponggawa pada masanya. Ia bergelar tumenggung (yang kadang-kadang ditambah dengan gelar Laksamana) dan nama panggilannya adalah Kiyai Patih.
Kaum pemerintahan ini mengawasi seluruh urusan pemerintahan, termasuk pejabat-pejabat yang paling tinggi dalam bidang ekonomi, seperti syahbandar (Kiyai Syahbandar), kepala pabean (Kiyai Tandha), kepala pertimbangan umum (Kiyai Juru Dacin). “Perdana Menteri Bangsawan”, lebih tinggi tingkatannya, walaupun kurang berkuasa dalam praktiknya. Ia pada umumnya adalah seorang anggota keluarga raja yang sangat dekat yang bertindak sebagai penasihat utama raja.
Selain itu, ia menyelesaikan segala urusan kaum bangsawan. Selain pengaruh dari kekhalifahan Turki tersebut selama masa berdirinya pemerintahan Banten, dikenal juga Nayaka, yang mana Nayaka ini mungkin dapat diartikan sebagai kepala desa pada saat ini. Karena tugas dari Nayaka adalah sebagai pemimpin di daerah-daerah kecil yang berada di bawah Mangkubumi, dan diharuskan sekali waktu berkumpul bersama dihadapan Mangkubumi untuk memberi tahukan kondisi dari wilayah-wilayahnya. Yang kemudian diteruskan untuk menemui sang Sultan untuk mendengarkan nasihat-nasihat dan saran yang harus kembali disampaikan kepada rakyat di wilayahnya. Selain itu terdapat juga Kadhi (Qadhi) atau Hakim Agung yang bertugas menentukan suatu perkara bersama dengan punggawa-punggawa kerajaan yang lain. Seorang Kadhi layaknya adalah merupakan Ulama yang mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi terutama dalam bidang agama. Dari hal ini juga dapat disimpulkan bahwa para Ulama juga mempunyai tempat yang khusus dalam pemerintahan Banten.
Ekadjati (dalam Lubis, 2003:51) menjelaskan secara politik internasional, Banten menjalankan sistem politik luar negeri yang “Bebas Aktif”, maknanya Banten membuka pintu kepada siapa saja yang ingin menjalin hubungan kerjasama dengan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten juga aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun, antara lain dengan Makassar, Bangka, Cirebon, dan Indrapura.
EmoticonEmoticon