Perkembangan Kesultanan Banten
Sejak Banten berdiri sebagai kesultanan mandiri pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin pun mulai membangun kota Banten sebagai negara kota (city state), sekaligus sebagai kota bandar (harbour city). Tata letak keraton, alun-alun, masjid, pasar, dan jaringan jalan menunjukkan pola morfologi kota yang hampir sama dengan kota-kota Islam lainnya di Jawa, seperti Cirebon dan Demak.
Benteng pertahanan pun mulai dibangun di sekeliling negara kota itu. Penduduk yang terkonsentasi di kota Benteng tersebut pada saat itu berjumlah sekitar 70 ribu jiwa. Maulana Hasanuddin kemudian mengkonsolidasi pasukan dan mendeklarasikan Banten sebagai kesultanan independen dari Demak. Sehingga pada 1552, lahirlah Kesultanan Banten. Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Ia memerintah selama 18 tahun (1552-1570). Kota Surosowan (Banten Lor) pun didirikan sebagai ibu kota Kesultanan Banten.
Sultan Maulana Hasanuddin adalah raja sekaligus pemuka agama. Ia memberikan andil yang sangat besar dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran bangunan peribadatan berupa masjid dan sarana pendidikan Islam, seperti pesantren. Ia juga mengirim mubalig ke berbagai daerah yang telah dikuasainya.
Sebagai sultan pertama, Maulana Hasanuddin membangun insfrastruktur perkotaan Islam modern, antara lain.
- Membangun Keraton Surosowan sebagai pusat pemerintah.
- Membangun Masjid Agung Banten sebagai pusat peribadatan.
- Membangun Alun-alun sebagai pusat informasi dan berkomunikasi dengan rakyatnya.
- Membangun Pelabuhan Karangantu sebagai pelabuhan internasional yang menghantarkan Banten sebagai kesultanan dengan pelabuhan terkuat di Nusantara.
Pesatnya aktivitas niaga yang berlangsung di berbagai bandar tersebut, terutama di Sunda Kelapa dan Banten tidak terlepas dari pengaruh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Pedagang-pedagang Islam yang semula berdatangan ke Malaka, mulai enggan berhubungan dengan pedagang Portugis yang beragama Kristen. Portugis pun lebih suka berdagang dengan orang yang beragama Hindu. Karena Selat Malaka dan kota Malaka pada masa itu telah dikuasai Portugis, maka tak sedikit para pedagang datang untuk mengadakan transaksi jual beli berbagai komoditas di Banten. Sumber tertulis menyebutkan para pedagang itu berasal dari Arab, Abesinia, Belanda, Cina, Denmark, Gujarat (India), Inggris, Portugis, Prancis, Persia, dan Turki (Boedhihartono dkk, 2009:141).
Kebesaran Kesultanan Banten pada masa itu ditunjang oleh beberapa faktor, seperti letak geografis yang stategis, kondisi lingkungan (ekologis) yang menguntungkan, struktur masyarakat, dan pemerintahan yang kuat. Pada waktu kota Banten menjadi pusat pemerintahan, kota ini banyak didatangi oleh para pedagang asing dan Nusantara.
Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten telah merupakan pelabuhan besar di Jawa sejajar dengan Malaka. Sebuah sungai membagi Kota Banten menjadi dua bagian itu dapat dilayari oleh perahu jenis Jung dan Galen. Pada satu tepi sungai berjajar benteng-benteng yang dibuat dari kayu yang dilengkapi dengan meriam. Couto (dalam Lubis, 2003:30) melukiskan bandar ini sebagai berikut:
“Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Ditepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk kedalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah yang jernih,dimana kapan Jung dan Gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Teluk itu di beberapa tempat berlumpur, dan di beberapa tempat lagi berpasir; dalamnya dari enam hingga dua depa”.
Di tengah kota terdapat sebuah lapangan luas, disebut Alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Di sampingnya, terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah mesjid agung. Willem Lodewycks (1596) (dalam Lubis, 2003:30) menggambarkan keramaian perdagangan Banten sebagai berikut.
Di Banten ada tiga pasar yang dibuka tiap hari. Yang pertama dan terbesar terletak disebelah timur kota (Karangantu). Disana banyak ditemukan pedagang-pedagang asing dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Quilon (India), Pegu (Birma), Melayu, Benggala, Gujarat, Malabar, Abesinia, dan dari seluruh nusantara. Mereka berdagang sampai pukul sembilan pagi. Pasar kedua terletak di Alun-alun dekat masjid agung, yang dibuka sampai tengah hari bahkan sampai sore. Di pasar ini, diperdagangkan merica, buah-buahan, senjata keris, tombak, pisau, meriam kecil, kayu cendana, tekstil, kain putih untuk bahan batik, binatang peliharaan, kambing dan sayuran. Demikian besarnya pasar kedua ini sehingga ujungnya hampir menyambung dengan pasar pertama pelabuhan. Pasar ketiga terletak di daerah Pecinan yang dibuka setiap hari sampai malam”.
Maulana Hasanuddin juga menjalin persahabatan yang erat dengan Kerajaan Indrapura di Sumatra, yang diperkuat dengan pernikahan politik antara Hasanuddin dengan putri Raja Indrapura.
Penguasa Banten berikutnya adalah Maulana Yusuf yang memimpin dari tahun 1570 - 1580 Masehi. Tahun 1579 M, Banten berhasil menaklukkan Pakuan, ibukota Pajajaran. Setelah Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580, tahta kerajaan dipegang oleh Maulana Muhammad, putranya yang masih berumur 9 tahun. Karena masih muda pemerintahan dijalankan oleh badan perwakilan yang terdiri dari Jaksa Agung dan empat menteri sampai Muhammad cukup umur.
Pada tahun 1596 M, Banten melancarkan serangan terhadap kerajaan Palembang, dipimpin langsung oleh Maulana Muhammad, tujuannya untuk melancarkan jalur perdagangan hasil bumi dan rempah-rempah. Penyerangan ini gagal dan Maulana Muhammad gugur. Tahta kerajaan kosong, sementara putra Maulana Muhammad bernama Abu Mufakhir baru berusia 5 bulan. Pemerintahan Banten dijalankan oleh badan perwakilan yang diketuai oleh Jayanegara (wali kerajaan) dan Nyai Emban Rangkung (pengasuh pangeran). Pada masa ini, armada Belanda tiba pertama kali ke Banten yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman.
Sultan Abu Mufakhir baru resmi menjalankan kekuasaan pada tahun 1596. Beliau menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Masa pemerintahan Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul kadir penuh dengan ketegangan antara Banten dan Belanda. Banyak terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara pihak Banten dan Belanda. Abu Mufakhir wafat pada tahun 1651 M. Putranya yang menirukan bergelar Sultan Abu Ma'ali Ahmad Ramatullah, tetapi tidak lama kemudian wafat. Dan pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai masa keemasannya.
EmoticonEmoticon