BANTEN GIRANG
Berbicara tentang Banten, tak akan lepas dari Banten Girang yang merupakan cikal bakal Banten. Salah satu tinggalan Kerajaan Banten Girang yang masih dapat ditemui adalah situs Banten Girang yang terletak di Kampung Telaya, Desa Sempu, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Claude Guillot pada tahun 1988 – 1992, situs Banten Girang merupakan situs pemukiman/perkotaan. Penafsiran tersebut berdasarkan pada temuan struktur pertahanan yang berbentuk parit dan dinding tanah dengan pola yang tidak teratur. Diperkirakan situs ini berasal dari abad ke-10 dan mencapai puncaknya pada abad ke-13 – 14 Masehi. Periodisasi tersebut mengacu pada keramik asing, keramik lokal, pecahan prasasti, benda-benda logam, mata uang, sisa hewan, batu-batuan, dan manik-manik yang ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Guillot.
Pada awal abad XVI, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahan di Banten Girang. Adapun Banten Ilir atau Banten Lama pada masa itu berfungsi sebagai pelabuhan. Agama yang dianut Prabu Pucuk Umun dan rakyatnya ketika itu adalah Hindu – Budha. Di tepi Sungai Cibanten, terdapat goa buatan yang dipahat pada sebuah tebing jurang. Goa ini memiliki dua pintu masuk yang di dalamnya terdapat tiga ruangan.
Pada pertengahan tahun 1990-an, ditemukan sebuah arca Dwarapala di Sungai Cibanten, tidak jauh dari Situs Banten Girang. Sebagaimana dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Sungai Cibanten dahulu kala berfungsi sebagai jalur transportasi yang menghubungkan wilayah pesisir dengan pedalaman.
Di dalam Babad Banten dikisahkan tentang penaklukan seluruh wilayah Banten oleh bala tentara Islam, yang diinterpretasikan sebagai perebutan kota Banten Girang. Dalam Babad Banten juga disebutkan keterkaitan antara Banten Girang dengan Gunung Pulosari. Ketika Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin singgah di Banten dan Banten Girang, mereka kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke Gunung Pulosari yang menjadi tujuan utama. Gunung Pulosari pada masa itu merupakan wilayah Brahmana Kandali, yang dihuni oleh para pendeta. Ketika Hasanuddin meng-Islamkan para pendeta, mereka disarankan untuk tetap menetap di Gunung Pulosari, sebab jika tempat itu sampai kosong akan menjadi tanda berakhirnya Tanah Jawa. Dalam Babad Banten diceritakan pula bahwa setelah kemenangan Hasanuddin, sejumlah penduduk Banten Girang yang tidak mau memeluk Islam melarikan diri ke pegunungan selatan yang hingga saat ini dihuni oleh keturunan mereka, yakni orang Baduy. Kenyataan ini didukung kebiasaan orang Baduy yang selalu berziarah ke Banten Girang.
Banten girang (girang : hulu) merupakan satu tempat yang di yakini oleh sebagian besar peneliti kepurbakalaan sebagai pusat pemerintahan kerajaan bercorak hindu-budha sebelum berdirinya kerajaan islam atau kesultanan banten. Benten girang secara administrasi terletak di kampung sempu, kecamatan cipocok jaya, kota serang kira-kira 3 km di selatan pusat kota atau alun-alun kota serang.
Eksistensi benten girang di sebut dalam beberapa sumber seperti naskah-naskah/babad yang di anggap berusia tua. Banten girang pernah di sebutkan dalam cerita parahyangan yang mengatakan bahwa banten girang yang di kalahkan oleh Arya Bubrah, tokoh yang di tafsirkan sebagai fatahillah kahn, panglima demak-cirebon yang mengalahkan kalapa (Atja,1981 : 36-48). Selain dalam cerita parahyangan nama dan keberadaan banten girang juga di tafsirkan dari isi prasasti yang di temukan di desa Kebantenan (Bekasi) yang termuat dalam 2 lempeng dari 5 lempeng prasasti yang di temukan. Dalam prasasti tersebut kata Banten oleh montana menduga kuat yang di sebut adalah Banten Girang (Nurhakim, 1996 : 38)
Banten girang oleh montana selanjutnya di kaji berdasarkan asal bahasanya yang berasal dari bahasa jawa kuna yang berarti Offering ( selamat/sesaji ). Pabantenan di artikan sebagai tempat untuk melakukan sesaji, kampung banten berarti kampung tempat mengadakan persembahan. Pengertian yang di sampaikan oleh montana mungkin merujuk pada suatu lokasi pusat mandala yang sering didatangi oleh masyarakat untuk mempersembahkan sesuatu kepada raja atau pimpinan sekaligus sebagai wakil dewa yang di tugaskan mengatur kehidupan manusia di muka bumi.
Banten girang untuk saat ini di kenal hanya satu bukit kecil di sisi barat sungai cibanten di kampung sempu terdapat keramat atau makam dalam sebuah bangunan yang bercungkup dan dibaliknya terdapat walu gilang ( batu yang bersinar ), tahta pucuk umun, ratu-pandita yang terakhir di banten girang.
Makam dalam bangunan cungkup berisi dua makam, yang di anggap sebagai makam kakak beradik, ki jong dan agus jo, yaitu penduduk banten girang yang pertama kali masuk islam dan menjadi pengikut setia raja islam pertama di banten, Hasanuddin. Dua orang tokoh yang di sebutkan tersebut kemungkinan seorang tokoh dijadikan satu yaitu Ki Jonglo, yang cukup di kenal dalam sejarah banten. (Guitlot,. Dkk, 1996: 25). Dalam sejarah banten di sebutkan bahwa banten girang di taklukan oleh pasukan islam yang berasal dari Demak dan Cirebon. Setelah penaklukan tersebut banten girang kemudian tidak lagi di jadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaan. Oleh penguasa islam pusat pemerintahan di pindahkan ke daerah utara di pesisir pantai teluk banten yang sekarang di kenal dengan nama Banten Lama.
Beberapa nama tempat di kawasan banten girang kini sebagian besar menjadi area perumahan sebagai dampak dari pengembangan Kota Serang. Nama-nama tersebut antara lain Asem Reges, di sebelah barat cungkup Ki Jonglo di sembrang sungai, nama tempat ini berasal dari pohon asem yang di tanam di dekat makam. Telaya, di sebelah selatan makam banten girang, nama telaya berasal dari masa peperangan antara Sultan Ageng dan Belanda : pada tahun 1682 nama banten girang di ganti dengan "Tirtalaya", yang kemudian di singkat menjadi Telaya. Di sebelah timur Telaya masih dapat di jumpai gua buatan yang di gali di tepi jurang, menurut cerita itulah tempat pucuk umun bersemedi. Padaringan, di sebelah barat telaya, sebuah depresi yang pada musim hujan berubah menjadi rawa. Menurut tradisi lama di tempat ini telaya merupakan bekas kolam ikan pada zaman banten girang. Oleh karena itu di namakan pandaringan atau tenggara telaya di sebrang sungai. Di lokasi ini pada tahun 1991 masih terlihat bekas-bekas parit dan menurut penduduk situs ini dulu adalah pasar banten girang. Alat Dawa, bagian selatan dari kawasan banten girang yang merupakan hutan panjang ( Guilot,. Dkk, 1991: 27-28 ).
EmoticonEmoticon