SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( "PRANATA POLITIK" Masa Keemasan Kesultanan Banten )



Masa Keemasan Kesultanan Banten
Michrob dan Chudari menyebutkan (dalam Lubis, 2003:46) bahwa pada pertengahan abad ke 17 Masehi, tanggal 10 Maret 1651 Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir meninggal dunia, jenazahnya dikuburkan di Kenari. Berdekatan dengan makam ibunya dan putra kesayangannya, sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang wafat pada tahun
Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

1650. Dari perkawinan dengan Ratu Martakusuma (putri Pangeran Jayakarta), Sultan Abdulkadir mempunyai enam anak yaitu Ratu Kulo, Ratu Pembayun, Pangeran Surya, Pangeran Arya Kulon, Pangeran Lor, dan Pangeran Raja. Sementara dari istrinya yang lain, Ratu Aminah (Ratu Wetan) Sultan mempunyai beberapa anak yaitu Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten, Ratu Tinumpuk. Masih ada lagi anak dari istri yang lain.

Sebagai pengganti Sultan Abdulkadir yang mangkat, maka diangkatlah pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, menjadi Sultan Banten yang kelima pada tanggal 10 Maret 1651. Sultan baru ini dikenal sebagai Pangeran Ratu ing Banten, atau Sultan Abulfath Abdulfattah, gelar lengkapnya adalah Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina al Arifin. Sultan itu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672), adalah seorang yang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa menaruh perhatian yang besar pada perkembangan pendidikan agma islam. Untuk membina mental prajurit banten, ia mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut ialah ulama besar Makassar, yang bernama Syeikh yusuf, yang dikenal dalam tradisi Makassar sebagai Tuanta Salamaka atau Syeikh Yusuf Taju’l Khalwati. Ia kemudia dijadikan mufti agung, guru, dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah pemerintahannya, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.


Meskipun disebutkan dengan urusan konflik dengan VOC, Sultan tetap melakukan upaya-upaya pembangunan dengan membuat Saluran Air dari Sungai Untung Jawa hingga ke Pontang. Saluran yang mulai digali tahun 1660 ini dimaksudkan untuk kepentingan irigasi dan memudahkan transportasi dan peperangan. Upaya itu berarti pula meningkatkan produksi pertanian yang erat dengannya. Dengan kesejahteraan rakyat dan kepentingan logistic jika menghadapi peperangan. Karena Sultan banyak mengusahakan pengairan dengan melaksanakan penggalian-penggalian saluran-saluran menghubungkan sungai-sungai yang membentang sepanjang pesisir utara, maka atas jasa-jasanya ia digelari Sultan Ageng Tirtayasa (Tjandrasasmita, 1995:116).

Sultan Ageng Tirtayasa juga melakukan konsolidasi pemerintahannya dengan mengadakan hubungan persahabatan antara lain dengan Lampung, Bengkulu dan Cirebon. Hubungan pelayaran dan perdagangan dengan Kerajaan Gowa, dengan sumber rempah-rempah di Maluku–meskipun menurut perjanjian dengan VOC tidak diperbolehkan–tetap dilakukan.

Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang Politik, Diplomasi, maupun di bidang Pelayaran dan Perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin ditingkatkan Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang Asing dari Persi (Iran), Arab, India, Cina, Jepang, Filipina, Melayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki.

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( "PRANATA POLITIK" Perkembangan Kesultanan Banten )



Perkembangan Kesultanan Banten
Sejak Banten berdiri sebagai kesultanan mandiri pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin pun mulai membangun kota Banten sebagai negara kota (city state), sekaligus sebagai kota bandar (harbour city). Tata letak keraton, alun-alun, masjid, pasar, dan jaringan jalan menunjukkan pola morfologi kota yang hampir sama dengan kota-kota Islam lainnya di Jawa, seperti Cirebon dan Demak.
Benteng pertahanan pun mulai dibangun di sekeliling negara kota itu. Penduduk yang terkonsentasi di kota Benteng tersebut pada saat itu berjumlah sekitar 70 ribu jiwa. Maulana Hasanuddin kemudian mengkonsolidasi pasukan dan mendeklarasikan Banten sebagai kesultanan independen dari Demak. Sehingga pada 1552, lahirlah Kesultanan Banten. Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Ia memerintah selama 18 tahun (1552-1570). Kota Surosowan (Banten Lor) pun didirikan sebagai ibu kota Kesultanan Banten.

Sultan Maulana Hasanuddin adalah raja sekaligus pemuka agama. Ia memberikan andil yang sangat besar dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran bangunan peribadatan berupa masjid dan sarana pendidikan Islam, seperti pesantren. Ia juga mengirim mubalig ke berbagai daerah yang telah dikuasainya.

Sebagai sultan pertama, Maulana Hasanuddin membangun insfrastruktur perkotaan Islam modern, antara lain.

  • Membangun Keraton Surosowan sebagai pusat pemerintah.
  • Membangun Masjid Agung Banten sebagai pusat peribadatan.
  • Membangun Alun-alun sebagai pusat informasi dan berkomunikasi dengan rakyatnya.
  • Membangun Pelabuhan Karangantu sebagai pelabuhan internasional yang menghantarkan Banten sebagai kesultanan dengan pelabuhan terkuat di Nusantara.

Pesatnya aktivitas niaga yang berlangsung di berbagai bandar tersebut, terutama di Sunda Kelapa dan Banten tidak terlepas dari pengaruh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Pedagang-pedagang Islam yang semula berdatangan ke Malaka, mulai enggan berhubungan dengan pedagang Portugis yang beragama Kristen. Portugis pun lebih suka berdagang dengan orang yang beragama Hindu. Karena Selat Malaka dan kota Malaka pada masa itu telah dikuasai Portugis, maka tak sedikit para pedagang datang untuk mengadakan transaksi jual beli berbagai komoditas di Banten. Sumber tertulis menyebutkan para pedagang itu berasal dari Arab, Abesinia, Belanda, Cina, Denmark, Gujarat (India), Inggris, Portugis, Prancis, Persia, dan Turki (Boedhihartono dkk, 2009:141).
Kebesaran Kesultanan Banten pada masa itu ditunjang oleh beberapa faktor, seperti letak geografis yang stategis, kondisi lingkungan (ekologis) yang menguntungkan, struktur masyarakat, dan pemerintahan yang kuat. Pada waktu kota Banten menjadi pusat pemerintahan, kota ini banyak didatangi oleh para pedagang asing dan Nusantara.

Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten telah merupakan pelabuhan besar di Jawa sejajar dengan Malaka. Sebuah sungai membagi Kota Banten menjadi dua bagian itu dapat dilayari oleh perahu jenis Jung dan Galen. Pada satu tepi sungai berjajar benteng-benteng yang dibuat dari kayu yang dilengkapi dengan meriam. Couto (dalam Lubis, 2003:30) melukiskan bandar ini sebagai berikut:

“Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Ditepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk kedalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah yang jernih,dimana kapan Jung dan Gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Teluk itu di beberapa tempat berlumpur, dan di beberapa tempat lagi berpasir; dalamnya dari enam hingga dua depa”.

Di tengah kota terdapat sebuah lapangan luas, disebut Alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Di sampingnya, terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah mesjid agung. Willem Lodewycks (1596) (dalam Lubis, 2003:30) menggambarkan keramaian perdagangan Banten sebagai berikut.

Di Banten ada tiga pasar yang dibuka tiap hari. Yang pertama dan terbesar terletak disebelah timur kota (Karangantu). Disana banyak ditemukan pedagang-pedagang asing dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Quilon (India), Pegu (Birma), Melayu, Benggala, Gujarat, Malabar, Abesinia, dan dari seluruh nusantara. Mereka berdagang sampai pukul sembilan pagi. Pasar kedua terletak di Alun-alun dekat masjid agung, yang dibuka sampai tengah hari bahkan sampai sore. Di pasar ini, diperdagangkan merica, buah-buahan, senjata keris, tombak, pisau, meriam kecil, kayu cendana, tekstil, kain putih untuk bahan batik, binatang peliharaan, kambing dan sayuran. Demikian besarnya pasar kedua ini sehingga ujungnya hampir menyambung dengan pasar pertama pelabuhan. Pasar ketiga terletak di daerah Pecinan yang dibuka setiap hari sampai malam”.

Maulana Hasanuddin juga menjalin persahabatan yang erat dengan Kerajaan Indrapura di Sumatra, yang diperkuat dengan pernikahan politik antara Hasanuddin dengan putri Raja Indrapura.
Penguasa Banten berikutnya adalah Maulana Yusuf yang memimpin dari tahun 1570 - 1580 Masehi. Tahun 1579 M, Banten berhasil menaklukkan Pakuan, ibukota Pajajaran. Setelah Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580, tahta kerajaan dipegang oleh Maulana Muhammad, putranya yang masih berumur 9 tahun. Karena masih muda pemerintahan dijalankan oleh badan perwakilan yang terdiri dari Jaksa Agung dan empat menteri sampai Muhammad cukup umur.



Pada tahun 1596 M, Banten melancarkan serangan terhadap kerajaan Palembang, dipimpin langsung oleh Maulana Muhammad, tujuannya untuk melancarkan jalur perdagangan hasil bumi dan rempah-rempah. Penyerangan ini gagal dan Maulana Muhammad gugur. Tahta kerajaan kosong, sementara putra Maulana Muhammad bernama Abu Mufakhir baru berusia 5 bulan. Pemerintahan Banten dijalankan oleh badan perwakilan yang diketuai oleh Jayanegara (wali kerajaan) dan Nyai Emban Rangkung (pengasuh pangeran). Pada masa ini, armada Belanda tiba pertama kali ke Banten yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman.

Sultan Abu Mufakhir baru resmi menjalankan kekuasaan pada tahun 1596. Beliau menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Masa pemerintahan Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul kadir penuh dengan ketegangan antara Banten dan Belanda. Banyak terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara pihak Banten dan Belanda. Abu Mufakhir wafat pada tahun 1651 M. Putranya yang menirukan bergelar Sultan Abu Ma'ali Ahmad Ramatullah, tetapi tidak lama kemudian wafat. Dan pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai masa keemasannya.

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( "PRANATA POLITIK" Pendiri Dinasti )



Pendiri Dinasti
Setelah penaklukan tersebut, pada 1526 lahirlah Kadipaten Banten yang bercorak Islam dibawah naungan Kerajaan Demak dan Cirebon. Maulana Hasanuddin dinobatkan sebagai adipatinya. Pada tahun yang sama, Maulana Hasanuddin menikah dengan Nyi Ratu Ayu Kirana, putri mahkota Sultan Trenggana (Demak III). Saat itu usia Hasanuddin masih 26 tahun (Republika, tt).

Semenjak Banten Girang berhasil dikalahkan oleh penguasa Islam, terjadilah peralihan kekuasaan. Kekuasaan Islam bertambah jaya ketika pusat Kesultanan Banten dipindah ke Banten Lama yang terletak di kawasan pesisir pantai utara Pulau Jawa bagian barat. Pemindahan ini merupakan suatu pilihan penting untuk mengembangkan perdagangan, sehingga bandar Banten di pesisir yang berfungsi pusat politik maupun ekonomi berkembang dengan pesat. Pemindahan kota pusat kerajaan itu dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir utara pulau Jawa dengan pesisir Sumatera bagian barat melalui Selat Sunda dan Samudera Indonesia.

Sejarah perkembangan dan penyebaran Islam di “tanah para jawara” itu tak lepas dari pengaruh Kesultanan Cirebon. Islam telah masuk di Banten sekitar tahun 1524-1525, semasa Banten masih di bawah pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran. Adalah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) seorang ulama yang memimpin Cirebon yang menyebarkan Islam di wilayah barat pulau Jawa itu.
Syarif Hidayatullah bahkan sempat menjadi penguasa Islam pertama di Banten. Namun, ia tak mengangkat dirinya sebagai sultan. Tahta kesultanan itu diamanahkan kepada putranya yang bernama Maulana Hasanuddin. Oleh Kesultanan Demak dan Cirebon, MaulanaHasanuddin ditugaskan untuk mengislamkan bagian barat Pulau Jawa, tepatnya Banten.

Pada mulanya memang Banten masih merupakan wilayah penaklukan yang berada dalam naungan Kerajaan Demak, namun sejak masa kepemimpinan Maulana Hasanuddin (1552-1570) kerajaan Banten melepaskan diri dari supremasi Demak. Dengan demikian, Banten berdiri menjadi sebuah Kesultanan dengan pemerintahan yang mandiri dengan potensi-potensi yang dimilikinya tanpa diikut campuri oleh kekuasaan dari kerajaan atau kesultanan yang lain.

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( "PRANATA POLITIK" Penaklukan Wahanten Girang )



Penaklukan Wahanten Girang
Sebelum berwujud sebagai suatu kesultanan, wilayah Banten termasuk bagian dari kerajaan Sunda Pajajaran. Agama resmi kerajaan ketika itu adalah agama Hindu. Pada awal abad ke-16 M, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umum dan anaknya yang bernama Prabu Seda, dengan pusat pemerintahan Kabupaten di Banten Girang (Banten Hulu) di bagian pedalaman. Dan lokasi Surosowan (Banten Lor) hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan (Jakarta.go.id, 2010).

Dalam kitab Carita Parahyangan disebutkan sebuah kota berdiri dengan nama Wahanten Girang yang dapat dikaitkan dengan nama Banten lama (de Graaf&Pigeaud. 1989:147), yang merupakan tempat kedudukan pengusaha Sunda sebelum didirikannya kerajaan baru oleh Maulana Hasanuddin, sultan Banten Pertama (Untoro, 2007:26).
Kala itu, Padjajaran merupakan satu-satunya kerajaan Hindu yang masih eksis di Pulau Jawa. Para wali menggelar perundingan dan memutuskan untuk menguasai Banten terlebih dahulu. Sebab, Banten merupakan pintu gerbang untuk masuk ke Jawa Barat. Pada tahun 1525 M, atas perintah dari Sultan Trenggono dari kerajaan Demak, pasukan gabungan dari Kesultanan Demak dan Cirebon bersama laskar-marinir yang dipimpin oleh Fatahillah (Demak) dan Maulana Hasanuddin menyerbu Kadipaten Banten Girang yang bercorak Hindu. Pasukan gabungan itu tidak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten.

Michrob dan Chudari (dalam Lubis, 2003:28) menyebutkan bahwa Hasanuddin berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (Banten Girang) pada tahun 1525. Kemudian atas petunjuk Sunan Gunung Jati. Hasanuddin memindahkan pusat pemerintahan kota Banten, yang tadinya berada di pedalaman Banten Girang (Tiga kilometer dari kota Serang) ke dekat pelabuhan Banten. Hal ini terjadi pada tanggal 1 Muharram tahun 933 Hijriah yang bertepatan 8 Oktober 1526. Secara strategi perang, Padjajaran memang kalah oleh Demak dan Cirebon, sehingga Syarif Hidayatullah berani menempatkan anaknya, Maulana Hasanuddin di Banten.

Kerajaan Banten bercorak Islam didirikan karena Kesultanan Cirebon mendengar informasi adanya perjanjian antara Portugis dengan Kerajaan Padjajaran yang berencana membangun benteng di Sunda Kelapa (Jakarta). Konon, Portugis dan Padjajaran berniat untuk menghambat penyebaran Islam di bagian barat Pulau Jawa.

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( PRANATA POLITIK )

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M



PRANATA POLITIK


Kondisi Banten
Banten merupakan provinsi yang berada di ujung barat pulau Jawa, yang secara administratif berdiri sebagai provinsi pada tahun 2000. Letak geografis Banten pada batas astronomis adalah 1050 1’112 – 10607’122 BT dan 507’502 – 701’12 LS. Banten secara umum merupakan dataran rendah yang berada pada 0-200 mdpl (bpkp.go.id). Banten merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran penting di masa silam dengan berdirinya sebuah kerajaan yang bercorak Hindu dan kesultanan yang bercorak Islam.
Heukeun (dalam Lubis, 2003:25) menjelaskan asal mula Banten disebut sebagai nama suatu tempat yakni merujuk pada sumber asing, yaitu sumber Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung (1430), nama Banten disebut sebagai tempat yang terletak dalam beberapa rute pelayaran; Tanjung Sekong – Gresik – Jaratan; Banten – Timor; Banten – Demak; Banten – Banjarmasin; Kreung (Aceh) – Barus - Pariaman – Banten. Rute pelayaran ini dibuat Mao’K’un pada sekitar tahun 1421. Dalam buku Ying-Yai-Sheng-Lan (1433) Banten disebut Shunt’a (maksudnya Sunda).
Gambar 1.1 Peta Lokasi Banten
Kesultanan Banten: Abad XVI-XIX M

Banten juga disebut dalam laporan perjalanan Tome Pires (1513) sebagai salah satu bandar Kerajaan Sunda yang cukup ramai. Banten merupakan sebuah kota niaga yang baik, terletak di tepi sebatang sungai, yang dikepalai oleh seorang syahbandar. Kesaksian Tome Pires ini dapat dijadikan petunjuk bahwa bandar Banten sudah berperan sebelum berdiri Kesultanan Banten (Sutjiatiningsih, 1997).

Sekalipun berdasarkan penemuan prasasti, disebut pula dalam Prasasti Kebon Kopi di daerah Bogor, yang menandakan keberadaan Kerajaan Banten Girang ada pada tahun 932 M (Boedhihartono dkk, 2009:140). Dalam cerita lokal, nama Banten disebut paling awal dalam naskah Carita Parahiyangan, yang ditulis pada tahun 1580, dalam naskah ini disebutkan adanya sebuah tempat yang disebut “Wahanten Girang” yang dapat dihubungkan dengan nama Banten. Dalam Tambo Tulangbawang dan Primbon Bayah, serta berita Cina, hingga abad ke-13, orang menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili. Selain itu, nama Banten jelas disebut dalam naskah-naskah Sadjarah Banten. Ada sekitar 31 versi dari naskah ini, tetapi yang paling tua ditulis tahun 1662/1663 (Lubis, 2003).
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Kesultanan ini berdiri sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan, kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan (Abimanyu, 2014).

Sejarah Pembentukan Provinsi Banten

Sejarah Pembentukan Provinsi Banten
Sejarah Pembentukan Provinsi Banten

    Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dimunculkan keinginan masyarakat Banten untuk meningkatkan status wilayahnya dari Karesidenan menjadi provinsi sendiri yang terpisah dari Jawa Barat. Keinginan ini muncul berkaitan dengan diberikannya status Daerah Istimewa Yogyakarta dan munculnya tuntutan yang sama dari Aceh. Masyarakat Banten merasa bahwa Banten juga memiliki keistimewaan, yaitu tidak pernah menyerah kepada Belanda, pernah berdiri sendiri karena diblokade Belanda sampai mengeluarkan mata uang sendiri pada tahun 1949 (Michrob dan Chudari, 1993 : 284). Hanya saja keinginan ini tidak dapat tanggapan serius.

      Dengan diberlakukannya Demokrasi Terpimpin dan dibentuknya pemerintah dan parlemen baru di tingkat pusat, kehidupan politik di Jawa Barat pun disesuaikan dengan kehidupan politik di tingkat pusat Dalam bidang pemerintahan, dibentuk lembaga pemerintahan baru yang sisesuaikan dengan konsep Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu, di Jawa Barat dikenal dua macam pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kotamadya. Kedua macam pemerintahan daerah itu adalah Pemerintahan Daerah Gaya Baru dan Pemerintahan daerah Gotong Royong ( Pikiran Rakjat, 28 Maret 1960).

       Pemerintahan Daerah Gaya Baru dibentuk atas dasar Penpres No.6 tahun 1959 yang berlangsung dari tanggal 20 Oktober 1959 sampai tanggal 10 Desember 1960. Pemerintahan Daerah ini tersususn atas badan eksekutif dan legislatif. Badan eksekutif terdiri dari gubernur yang di bantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). Menurut ketentuannya, gubernur dibantu olrh enam orang anggota BPH, tetapi sampai akhir Pemerintahan Daerah gaya Baru anggota BHP hanya tiga orang, yaitu satu orang wakil dari Partai Komunis Indonesia (PKI), satu orang wakil dari Nahdlatul Ulama (NU), dan satu orang wakil dari Murba. Dua orang wakil dari Masyumi dan satu orang wakil dari PNI menolak untuk diangkat sebagai anggota BPH karena mereka tidak dapat melepaskan keanggotaan dari partainya masing-masing. Disamping itu, selain sebagai kepala derah, gubernur juga bertindak sebagai Ketua Badan Legislatif (Ketua DPRD Gaya baru) . DPRD gaya Baru beranggotakan 75 orangt yang tersusun dari partai-partai politik dan golongan fungsional (Suwardi dan Djayasoempena,1965:14-15).

      Setelah pembentukan DPR Gotong royong di tingkat pusat, di Jawa Barat pun terjadi perubahan dalam pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah Gaya Baru diganti dengan Pemerintahan daerah Gotong-Royong dibentuk atas dasar Penpres No.5 tahun 1960. Bentuk pemerintahan tersebut berlangsung sejak tanggal 10 Desember 1960 dan tersusun atas Badan Eksekutif dan Badan Legislatif. Badan Eksekutif terdiri atas Gubernur dengan dibantu oleh Anggota Badan Pemerintahan harian (BPH). Badan Legislatif adalah DPRD Gotong Royong dengan Gubernur sebagai Ketua. Berdasarkan ketentuan, DPRD Gotong Royong terdiri dari 75 kursi, namun tiga kursi tidak diisi karena partai-partai politik yang akan memduduki tiga kursi tidak diakui oleh pemerintah, sehingga jumlahnya hanya 72 orang. Ketiga partai politik yang kemudian tidak diakui oleh pemerintah itu adalah PRIM, PRN, dan Partai Buruh. Komposisi anggota DPRD Gotong Royong terdiri dari wakil partai politik dan wakil golongan karya (Suwandi dan Djajasoempoena,1965:15-16).

    Pada tahun 1963, Bupati Serang Gogo sandjadirdja, mengadakan acara halal bilhalal dengan tokoh-tokoh masyarakat Banten di Pendopo Kabupaten Serang. tokoh-tokoh yang datang bukan hanya dari Banten, tetapi juga dari daerah Jasinga-Bogor. Setelah acara halal-bilhalal usai, dilanjutkan dengan rapat. Dalam rapat itulah untuk pertama kalinya dicetuskan gagasan tentang perlunya keresidenan Banten menjadi propinsi sendiri. Gagasan itu kemudian diwujudkan dengan membentuk panitia “Pembentukan Propinsi Banten (PPB). Panitia ini diketuai oleh Bupati Serang sendiri dengan pengurus yang mewakili partai-partai yang ada. Pada mulanya, unsur partai Komunis Indonesia (PKI) tidak bersedia ikut, tetapi karena poros nasakom (Nasional, agama, komunis) dijadikan acuan politik nasional, Panitia Propinsi Banten menawarkan unsur PKI untuk duduk dalam kepanitiaan. Akhirnya terbentuk Panitia Propinsi Banten dengan susunan sebagai berikut: Ketua – Gogo Sandjadirdja (PSII), Wakil Ketua – Ayip Djuhri (NU/Front Nasional), Entol masyur (PNI/Front Nasional), Sukra (PKI/Front Nasional), dan Anggota – M. Sanusi (PSII/Front Nasional), Toha (PKI/Anggota DPR-GR Serang), Tb. Suhari Chatib (PSII), (Qorny dalam Mansur, 2001:88).
Panitia ini kemudian mengadakan rapat akbar di Alun-alun Serang, ternyata gagasan untuk membentuk Propinsi Banten mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Hal itu dapat dipahami karena pada waktu itu posisi politisi sipil masih kuat, maka dalam waktu yang relatif singkat gerakan ini secara horisontal mendapat dukungan luas baik dari kalangan ormas, dan juga dukungan vertikal dari kalangan eksekutif dan legislatif se-wilayah Banten.

    Pada tahun 1964, panitia ini menemui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Mendagri menyatakan bahwa masyarakat Banten tidak perlu menuntut agar Banten menjadi Propinsi karena sudah ada pemikiran dari Pemerintah Pusat yang ingin memeberikan sesuatu kepada rakyat Banten. Pemerintah Pusat merasa berhutang budi pada rakyat Banten yang telah berjasa bukan saja pada tahun 1945 tetapi sebelumnya Banten telah bergerak menentang penjajah Belanda. Hanya, menurut Mendagri perlu sabar menunggu kesepakatan dengan DCI (Daerah Chusus Ibukota) Jakarta yang merencanakan perluasan hingga Kabupaten Tangerang (Qorny dalam Mansur 2001:88).

     Gentur Mu’min, mantan wartawan Harian Duta Masyarakat yang terbit di Jakarta antara tahun 1964-1971, menceritakan bahwa sebenarnya pada tahun 1965 itu Banten “hampir resmi menjadi Propinsi”. Namun, karena terhjadi peristiwa G-30-S, hal itu tidak terlaksana. Ia menjelaskan bahwa panitia Propinsi banten telah mengadakan pertemuan dengan tim DPR-GR-RI, yang tidak dingta lagi oleh sumber tersebut tanggal dan harinya, hanya disebutkan pertemuan itu terjadi tahun 1965, bertempat di rumah H. Tb. Kaking (bendahara Panitia Propinsi Banten). Hadir dalam pertemuan tersebut adalah H. M. Gogo Rafiudin Sandjadirdja (Bupati Serang saati itu), H. Ayip Dzuhri (Anggota DPR-GR RI), dan beberapa tokoh masyarakat Banten, yang datang dari Jakarta dan Bandung. selanjutnya tim dari DPR- GR- RI itu ber-kunjung ke Jambi, Bengkulu, dan Lampung, yang sama seperti Banten, ingin memisahkan diri dari Propinsi induknya untuk menjadi Propinsi sendiri. Selanjutnya wartawan yang sudah sepuh itu, menjelaskan bahwa Mendagri Mayjen Sumarno sudah menyiapkan RUU Propinsi unruk daerah yang ingin menjadi Propinsi sendiri tersebut dan telah masuk ke DPR-GR-RI. Menurut H. Gentur Mu’min itu, berarti tidak lama lagi tempat daerah itu akan menjadi Propinsi sendiri (Mansur, 2001:101-102).

       Perkembangan gerakan yang tampaknya bakal berhasil itu dilihat oleh PKI sebagai peluang. DN. Aidit sebagai Ketua CC.PKI segera membentuk CDB (Central Distric Buerau). Organ setingkat Propinsi CDB PKI Propinsi Banten pimpinan Dachlan Rifa’i yang belakangan membentuk Dewan Revolusi Banten (Pola PKI). Namun, roda sejarah berbicara lain. Maksud DN. Aidiit tidak kesampaian di Banten, karena kemudian meletus peristiwa G-30-S. Markas CDB PKI pun hancur diamuk massa KAPPI dan KAMMI Konsulat Serang (keterangan H.Gentur Mu’min dalam Mansur, 2001:103).

   Pasca pembubabara PKI, Soeharto kemudian berupaya menata langkah-langkah lain yang memungkinkan tecapainya secara optimal “pasal-pasal” Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) serta tugas yang terkandung dalam Supersemar. Untuk itu, Soeharto kemudian melakukan aksi pembersihan terhadap orang-orang yang selama ini diduga terlibat atau mendukung G30SPKI, khusus-nya mereka yang ada di dalam Birokrasi Pemerintahan baik sispil maupun militer (Pusponegoero dan Notosusanto, 19939:414). Panitia Pembentukan Propinsi Banten yang telah dibentuk sejak tahun 1963, tidak luput dari usaha membersihkan dari dari Komunis. Maka unsur-unsur PKI pun dibubarkan dari panitia. Namun pihak yang berwenang agaknya tetap menaruh kecurigaan bahwa panitia telah ditunggangi PKI. Tuduhan itu tentu saja membuat panitia goyah, apalagi Pemerintah Pusat melalui Kop-Kamtib dan Laksus-nya berusaha melakukan pembersihan terus menerus. Oleh karena itu, panitia memilih untuk tidak aktif sementara. Meskipun demikian, panitia menyatakan secara tegas bahwa tidak benar panitia ditunggangi PKI dan menganggap bahwa hal itu merupakan fitnah yang sengaja ditiup-tiupkan oleh pihak-pihak yang tidak senang atas kemajuan Banten (H. Gentur Mu’min dalam Masnsur, 2001:102-103).

    Untuk menggalang kekuatan baru, panitia mulai melibatkan aktifis angkatan 66 di Jakarta dan Bandung yang berasal dari Banten. Kodam Siliwangi mencermati gerakan ini secara serius karena khawatir pembentukan Propinsi Banten akan dimanfaatkan oleh sisa-sisa PKI. Sekretaris Panitia Propinsi Banten, H. Rahmatullah Sidik menceritakan bahwa ia bersama Tubagus Kaking (Bendahara Panitia Propinsi Banten) selalu mendapat pengawasan ketat dari Kodim VI Siliwangi. Bahkan setelah itu, tidak sembarang orang mau menceritakan tentang rencana pembentukan Propinsi Banten karena merasa takut oleh aparat (Qorny, dalam Mansur, 2001:89; keterangan H. Rahmatullah Sidik, dalam Masur, 2001:104).

    Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pada tahun 1966 Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, Pangdam Siliwangi, meresmikan Korem 064/Maulana Yusuf dengan misinya antara lain membendung gerakan Propinsi Banten. Gerakan pertama yang diagendakan Korem Maulana Yusuf adalah Operasi Bhakti Siliwangi secara besar-besaran yang ditingkat Kodam wakil Panglima Operasinya adalah Brigjen Priatna, orang Rangkasbitung yang pernah menjadi komandan kontingen Garuda II di Congo-Afrika (Qorny, dalam Mansur (Qorny dalam Mansur, 2001:102-103).

    Operasi Bhakti Siliwangi Korem Banten dilaksanakan di bawah Danrem Kolonel Senior Anwar Padmawijaya. Tokoh inilah yang menjadi Danrem pertama dan yang terlama membangun infrastruktur perekonomian Banten, sepeti membangun Gedung Pertemuan Umum Serang, merehabilitasi Pelabuhan Karangantu, merenovasi Mesjid Agung Banten, dan juga melakukan pembangunan Gedung IAIN Sunan Gunung Djati cabang Serang (kini STAIN Maulana Hasanudin), Bendungan Cicurug Malingping, Pemandian Batu Kuwung, dan lain-lainnya (Qorny dalam Mansur, 2001:89).

    Misi Kolonel Anwar berhasil berkat dukungan Pemda Kabupaten (Serang, Pandeglang dan Lebak). dengan usaha ini diharapkan tercipta suatu opini publik bahwa masalah pembentukan Propinsi bukan soal yang urgent. Sekalpipun operasi terus berlanjut, namun tidak mengurangi semangat dan tekad para penggerak Propinsi Banten. Tercatat panitia berhasil mengundang tim peninjau lapangan dari DPRD-GR Tk.I Jabar pimpinan Kastura, tokoh operasi Jabar yang berasal dari Banten Kidul dan komisi B DPRD-GR pimpinan Brigjen (Pol). Domo Pranoto untuk mengadakan dialog dengan segenap tokoh politisi, tokoh masyarakat, ormas, dan pemuda (angkatan 66) Banten (Qorny dalam Mansur, 2001:89).

     Panitia Propinsi Banten pada tanggal 21 April 1967, merumuskan “Kebupalatan Tekad Panitia Propinsi Banten”. Isinya diawali dengan muqaddimah yang berisi landasan Idiil dan Landasan hukum untuk berdirinya Propinsi Banten. Selanjutnya dikemukakan dua syarat untuk menjadi Propinsi yaitu syarat subjektif yakni hasrat atau kemauan rakyat Banten untuk menjadikan daerahnya sebagai Propinsi dan syarat objektif yaitu adanya Suber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidup sebuah Propinsi. Dalam surat kebulatan tekad itu, diuraikan tentang SDA dan SDM yang dimiliki Banten. Menyangkut SDA, dijelaskan bahwa hasil pertanian berupa padi dan palawija memadai dan bisa menjadi surplus apabila diterapkan teknologi tepat guna, diBanten juga ada perkebunan karet, kelapa, cengkeh, lada, panilli, melinjo (Banten daerah penghasil emping yang penting), dan buah-buahan). Perikanan laut juga sangat signifikan karena 75% daerah Banten dikelilingi laut. SDA yang juga menjanjikan ialah pertambangan, berupa tambang emas di CIkotok, bijih besi di Cikurut, bahan semen di Anyer, belerang di Walantaka dan Padarincang, bahan Mika di Bojong, intan di Cibaliung, batubara di Gunung Kencana, Gunung Madur dan lain-lain.Selain itu, Banten juga memiliki aset pariwisata, pantai yang indah, cagar alam Ujung Kulon dan peninggalan sejarah dan kebudayaan yang eprnah mengalami kejayaan pada masa lalu. Direncanakan pula bahwa Propinsi Banten nanti akan terdiri atas 7 Kabupaten yaitu, Serang, Pandeglang, Lebak, Ujung Kulon, Cilangkahan, Tangerang dan Jasinga. Serta 2 Kota Praja yaitu Kota Praja Banten dan Kota Praja Cilegon dengan jumlah penduduk pada tahun 1967 sekitar empat juta orang (isi “Kebualtan Tekad seutuhnya dapat dibaca dalam Mansur, 2001:107-114).

     Dipihak lain, Kodim Siliwangi melakukan tindakan represif, dengan melakukan penahanan dan pemeriksaan terhadap beberapa orang aktivis Propinsi Banten pada tahun 1967. Mereka adalah Moch. Sanusi, tokoh PSII yang jabatannya sebagai Ketua DPRD-GR Tk.II Serang, Tb. Kaking (Pejuang 45 yang sukses dalam bisnis beras serta Rachmatullah Sidik, Pendidik Aktivis Sekber Golkar Serang.
     Penahanan Moch. Sanusi dilakukan dalam kaitan dengan saudara sepupunya yaitu Ajun Komisaris Polisi Atje Chutbi (BPH Kabupaten Serang) yang diduga terlibat dalam Dewan Revolusi (Pola PKI) Banten. Kebetulan pula, puteranya yang bernama Chutbi maupun Cholid bukan termasuk pengurus atau aktivis Propinsi Banten. Secara berlebihan, Pangdam Siliwangi, Mayjen H.R. Dharsono membuat pernyataaan yang dikutip harian Pikiran Rakyat yang intinya menuding gerakan ini sebagai pola PKI (isis surat kepada DPR-GR-RI dan RUU Propinsi Banten dapat dibaca dalam Mansur, 2001:116-121).

      Uwes Qorny, menyatakan bahwa pada tahun 1968, ketika ia menjadi pimpinan KAPPI daerah jawa Barat merencanakan akan menyelenggarakan rapat pimpinan KAPPI se-Jawa Barat di Serang. Ia didatangi 3 orang utusan KAPPI Pusat yang terdiri dari unsur IPNU (Partai NU), IPM (Muhamadiyah), SEPMI (PSII). Mereka menanyakan tentang acara rapat apakah akan membahas issue Propinsi Banten. Pertanyaan itu mengundang keheranan di benak Uwes, mengingat masalah Provinsi Banten tidak terpikirkan untuk dibawa ke dalam rapat KAPPI yang berskala nasional sehingga ia balik bertanya kepada para utusan itu apa latar belakang pertanyaan itu. Mereka membuka kartu, bahwa mereka membawa pesan Brigjen Ali Moertopo, Aspri (Asisten Pribadi) Politik Presiden Soeharto, yang sangat berpengaruh serta Komandan Opsus (Operasi Khusus). Secara persuasif Brigjen Ali Moertopo menyampaikan pesan Ali Moertopo kepada Uwes agar KAPPI Jabar tidak membahas Provinsi Banten demi keutuhan KAPPI dan tidak memecah belah KAPPI Banten dan KAPPI Priangan. Kemudian pada tahun 1970, Gubernur Jabar melalui Kepala DIrektorat Khusus Propinsi Jawa Barat Kolonel Abdullah Prawirakusumah bersama para tokoh masyarakat dan mahasiswa Banten di Bandung melakukan penggalangan pendekatan dengan segenap komponen di Banten (isi surat kepada DPR-GR-RI dan RUU Provinsi Banten dapat dibaca dalam Mansur, 2001:90).

     Sementara itu Ali Moertopo mengirim Muhamad Danu Hasan, mantan Panglima DI/TII Jabar yang digunakan Opsus. Dengan demikian telah berlangsung Operasi Penggalangan Bersama yang dilakukan oleh Pusat dan Gubernur Jawa Barat untuk mencari titik temu antara dua keinginan yang berbeda dalam amsalah Provinsi Banten (isi surat kepada DPR-GR-RI dan RUU Provinsi Banten dapat dibaca dalam Mansur, 2001:90).

   Tim Kolonel Abdullah berhasil membuat semacam konsensus dengan rakyat Banten melalui keputusan DPRD-GR se-wilayah Banten yang menandaskan bahwa secara substanstif tuntutan Propvinsi Banten merupakan hak dan asiprasi rakyat namun waktunya dianggap belum tepat. Meskipun hal ini dianggap menutup harapan untuk terwujudnya Provinsi Banten, pada tanggal 24 Agustus 1970, 27 anggota DPR-GR dengan juru bicara Bustaman,SH, mengajukan usul inisiatif membuat RUU pembentukan Provinsi Banten (isi surat kepada DPR-GR-RI dan RUU Provinsi Banten dapat dibaca dalam Mansur, 2001:91).

      Usul itu tidak sempat disidangkan karena banyaknya hambatan antara lain Gubernur Solichin.GP. tidak siap melepas Banten dan Pemerintah Pusat tidak memberikan lampu hijau. Sementara itu rekomendasi DPR-GR-RI tk.I Jawa Barat menyerahkan sepenuhnya kepada Pusat. Selanjutnya, pada tanggal 25 Oktober 1970 diadakan Sidang Pleno Musyawarah Besar Masyarakat Banten untuk mensyahkan Presidium Panitia Pusat Provinsi Banten, duduk sebagai Ketua Penasihat Tb. Bachtiar Rifa’i, dengan Ketua Ayip Abdurachman an Sekretaris Achmad Nurjani. Duduk pula sebagai anggota : Uwes Qorny, yang 30 tahun kemudian kembali menggelar keinginan masyarakat Banten untuk mendirikan Provinsi sendiri. Selain itu, ada juga Ekky Syahrudin, Hasan Alaydrus, yang juga ikut andil dalam era reformasi nanti (Supandri, 2002:32-33).

    Ada satu hal yang membanggakan masyarakat Banten pada tahun 1970 ini, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Kepres No.45/TK/1970. Yang tidak menggemberikan DPR-GR hasil Pemilu 1971 ternyata tidak mengagendakan RUU Porvinsi Banten. Setelah itu, masyarakat Banten terpaksan berdiam diri sepanjang sisa masa Orde Baru. memang ada satu atau dua kali aksi mahasiswa Banten di Bandung yang berunjuk rasa tetapi tidak memberikan gaung yang diharapkan.

   Dengan pendekatan keamanan yang dikendalikan dari Bina Graha mampu menjaga sifat kenegaraan yang patrimonialistis. Hingga tiba-tiba saja 26 tahun kemudian ketika kekuasaan Orde Baru mulai goyah pada bulan Agustus 1997, Uwes Qorny diwawancara oleh Lukman Hakim dari Harian Merdeka tentang perlunya dibentuk Provinsi Banten. Dalam berita berjudul “Uwes Qorny: saatnya Banten menjadi Provinsi ke-28? diungkapkan bahwa Pemerintah Banten menjadi Provinsi ke-28 adalah hak rakyat dan merupakan aspirasi dinamis yang legal diungkapkan pula secara kronologis tentang gagasan untuk membentuk Provinsi Banten. Dengan munculnya berita ini, masyarakat Banten seakan dibangunkan dari tidurnya (Qorny dalam Mansur, 2001:94).
Ketika Soeharto terpilih kembali menjadi dalam Sidang Umum (SU) MPR pada bulan Maret 1998 muncul reaksi negatif dari berbagai kalangan khususnya kekuatan-kekuatan infrastruktur politik yang menginginkan adanya perubahan Pimpinan Nasional, reaksi semakin keras ketika Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet pada tanggal 14 Maret 1998. Berbagai komentar bermunculan atas sususna Kabinet yang dipandang sarat dengan nuansa Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam Kabinet tersebut tidak hanya tampak kroni-kroni Soeharto, tetapi tampak salah seorang putri Soeharto Siti Hardiyanti Rukmana, yang dipercaya menduduki kursi Menteri Sosial. Rakyat seperti benar-benar kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Harapan untuk memperoleh pemerintahan yang bersih dan diharapkan mampu membawa bangsa dan negara keluar dari berbagai krisis yang terjadi seakan menjadi sirna dengan tampilnya Kabinet yang sarat KKN. Merasa pemerintahan baru yang tadinya diharapkan dapat mengatasi krisis sudah tidak dapat diharapkan lagi, rakyat apda akhirnya semakin terdorong untuk mengambil cara sendiri-sendiri dalam mengatasi kekecewaan. Upaya terakhir Presiden Soeharto guna mengembalikan kepercayaan rakyat ddengan melakukan upaya penyelamatan melalui reshuffle Kabinet gagal, para calon Menteri yang diminta dudukpun sudah tidak berminat mendudukinya lagi. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto meletakan jabatannya dan Wakil Presiden Habibie pun disumpah sebagai Presiden baru. dengan berakhirnya Orde Baru yang cenderung represif, kini masyarakat seakan menghidup udara segar demokrasi. Namun demikian, manuver politik Habibie lewat Kabinetnya ini bisa kurang mendapatkan respons positif dari masyarakat. Akan tetapi, untuk menjawab tuntutan masyarakat Habibie mengeluarkan kebijakan berupa perangkat perundangan, pembebasan para tahanan politik, pembukaan kebebasan pers, kebebasan mendirikan Partai Politik dan pembaruan hukum, dan hak asasi manusia. Dibidang ekonomi, Habibie pun berupaya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat menurunkan tingkat inflasi, melaksanakan pemulihan ketersediaan keterjangkauan ekonomi, pengembangan ekonomi kerakyatan, restrukturisasi Perbankan, dan perbaikan kurs rupiah. Kebijakan pembebasan tahanan politik sedidkit banyaknya mengangkat citra pemerintahan Habibie sebagai pemerintahan yang menjunjung tinggi nilai-niali demokratis. Dukungan atas kebijakan ini tidak hanya datang dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.

    Manuver Habibie mengadakan berbagai perubahan politik untuk mendogkrak simpati rakyat terhadap pemerintahannya lambat lau melahirkan harapan positif rakyat terhadap eksistensi pemerintah yang dipimpin Habibie. Inilah peluang baru bagi masyarakat Banten untuk merealisasikan keinginan yang lama terpendam.

      Sehari setelah Presiden Soeharto lengser, ribuan masyarakat Banten yang dipimpin oleh H. Embay Mulya syarif dan sejumlah tokoh muda Banten mendatangi Senayan untuk menyatakan dukungan kepada B.J. Habibie. Ketika dilakukan Sidang Istimewa pada tanggal 10 November 1998, pemerintah memutuskan diadakannya (Pengamanan Swakarsa) untuk mengamankan jalannya Sidang. Sekali lagi, rombongan warga Banten datang untuk ikut menjadi Pam Swakarsa (Mansur, 2001:124).
Pada awal tahun 1999, Presiden BJ. Habibie merencanakan kunjungan kerja ke Banten pada akhir bulan Januari 1999, H. Embay Mulya Syarif dengan disertai beberapa Kyai dan beberapa tokohnya dipanggil ke Istana Presiden dalam rangka persiapan kunjungan ini. Sebagaimana direncanakan pada hari Jum’at 5 Februari 1998 Presiden Habibie berkunjung ke Banten. Tempat pertemuan yang dipilih adalah Pondok Pesantren Daul Iman Pandeglang yang dipimpin K.H. Aminuddin Ibrahim . Sesuai dengan skenario yang dirancang Gubernur Jawa Barat dan para Menteri yang datang yaitu Mensesneg Akbar Tandjung, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Menteri Agama Malik Fajar, Menteri Koperasi/Pengusaha Kecil dan Mengengah Adi Sasono. Pengasuh Pondok Pesantren Darul Iman K.H. Aminudin Ibrahim mengusulkan agar wilayah eks Keresidenan banten ditingkatkan menjadi Provinsi Banten. Dalam kesempatan itu, Presiden BJ. Habibietidak menolak usulan itu, hanya menyatakan bahwa usulan itu harus melalui mekanisme konstitusional. Usul serupa diajukna oleh K.H. Mansur Muchjidin dalam acara dialog Presiden BJ. Habibie dalam kunjungan itu sama seperti ketika di Pandeglang (Mansur, 2001:127).

      Masyarakat Banten merasa mendapat angin segar dengan respon Presiden RI ke-3 itu. Hal itu diberitakan di berbagai media cetak di Banten dan media elektronik. Surat kabar mingguan Banten Express, memuat berbagai berita tentang kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan rencana pembentukan Provinsi Banten, juga artikel-artikel yang mendukung rencana itu. Keinginan masyarakat Banten untuk mewujudkan Provinsi Banten,ternyata benar dimanfaatkan benar oleh partai-partai yang sedang berkampanye menjelang Pemilu. Misalnya saja Partai MKGR, dalam kampanye di Pandeglang jelas-jelas menyatakan sangat mendukung keinginan masyarakat Banten tersebut. Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga melakukan kampanye di Pandeglang, menyatakan hal yang sama. Bahkan Partai Amanat Nasional (PAN) berani berkampanye: “PAN menang, Provinsi Banten jadi !” (Mansur, 2001:130 ; wawancara dengan Indra Abidin, 20 Agustus 2003).

     Pada awal tahun 1999, dengan mengambil tempat di Kampung Gardu Tanjak, Pandeglang, diselenggarakan hala-bilhalal Yayasan Sumur Tujuh dan reuni para mantan siswa SMP Pandeglang. Dalam kesempatan itu, Ekky Syahruddin, berbicara soal reformasi. Ia antara lain menganjurkan agar masyarakat Banten memanfaatkan peluang reformasi, untuk membuka kembali wacana pembentukan Provinsi Banten. Pertemuan semacam itu juga dilakukan di SMA Alalnys Kimia di Serang dan ternyatta pertemua itu selangkah lebih maju. Peserta pertemuan merencanakan unjuk rasa ke DPR di Jakarta. Beberapa hari setelah pertemuan itu, dengan menggunakan liam buah bus para pemuda Banten berangkat ke DPR di Jakarta untuk menyampaikan aspirasi pembentukan Provinsi Banten. Hanya saja karena tidak terencana dengan matang, unjuk rasa ini tidak menghasilkan apa-apa. Namun, setidaknya hal ini sebagai langkah awal kaum muda Banten untuk membuka wacana lanjutan tentang Provinsi Banten (wawancara dengan Indra Abidin, tanggal 2 September 2003 di Jakarta).

      Langkah selanjutnya yang lebih terarah dilakukan kaum muda di Serang yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Reformasi Indonesia (GPRI). Berbagai pertemuan, diskusi, dilangsungkan di rumah H. Sanuri Al-Mariz di Kompleks DPRD Serang. Para pemuda ini juga melakukan kunjungan kepada pemuka intelektual seperti H.M.A. Tihami, Rektor STAIN Serang, Hasan Muarif Ambary, Kepala Puslit Arkeolog Nasional. Selanjutnya dilakukan pertemuan di Hotel patra jasa, Anyer yang menghasilkan Panitia Musyawarah masyarakat Banten dengan Ketuanya Agus Najiullah Ibrahim didampingi Aenk Chaerudin dan Udin Saparudin. Beberapa pengusaha Banten diminta kontribusi untuk pembiayaan musyawarah. (wawancara dengan Indra Abidin, yang juga hadir dalam pertemuan itu).

      Atas gagasan K.H. Irsyad Djuwaeli, Ketua Matla’ul Anwar banten, didirikanlah Kelompok Kerja-PPB, beberapa tokoh masyarakat ikut bergabung di dalamnya. Berbagai pertemuan dilakukan untuk membuat perencanaan-perencanaan tentang pembentukan Provinsi Banten. Rupanya, bukan hanya kelompok ini yang memikirkan tentang PPB, berbagai kelompok lain muncul. Pada pertengahan Juli 1999 dengan diketuai oleh H. Uwes Qorny. Kegiatan pertamanya adalah mengadakan rapat akbar bertempat di Alun-alun barat Kabupaten Serang. dalam rapat itu dibacakan Deklarasi Rakyat Banten 1999 yang ditandatangani oleh 30 orang tokoh Banten, antara lain Uwes Qorny, Uu Mangkusasmita, Djajuli Mangkusubrata, Gunawan, Sofyan Ichsan, dan lain-lain. Deklarasi itu berbunyi sebagai berikut: ” Bismillahirrohmanirrohiim Kami, Rakyat Banten, dengan ini menyatakan bahwa Propinsi Daerah Tk.I Banten sudah saatnya dibentuk. Hal-hal lain yang menyangkut legalisasi hendaknya diselenggarakan sesuai dengan peraturan dan perundannga-undangan yang berlaku dalam tempo yang secepat-cepatnya. Semoga Allah SWT, meridho’i perjuangan kami, ammien, Serang, Ahad 5 Robi’ul Tsani 1420/Minggu 18 Juli 1999,” (Mansur, 2001:174-175).

     Pengakuan pemerintah terhadap keinginan rakyat banten mulai tampak akhir bulan Juli 199, Mendagri Syarwan Hamid dalam kesempatan wisuda Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor, menyatakan bahwa keinginan masyarakat Banten adalah sesuatu hal yang wajar dan perlu diproses. Pernyataan Mendagri ini disambut hangat masyarakat Banten. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1999 (Mansur, 2001:2001:134). Digelar Seminar Nasional ” Mempertegas Proyeksi Terwujudnya Propinsi Banten,” bertempat di Hotel Patra Jasa Anyer. Tampil sebagai pembicara adalah Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, Ekky Syahruddin (Anggota DPR-RI), Irsyad Djuwaeli (Ketua PB Matla’ul Anwar), H.M.A.Tihami (Ketua STAIN SMHB), Kahumas Depdagri Herman Ibrahim, dan R. Gunawan. Para pembicara yang melihat dari masing-masing bidang menganggap bahwa Provinsi Banten memang layak diwujudkan (Supandri,2002:37; Masur, 2001:134-135). Dalam Seminar yang dihadiri para tokoh masyarakat Banten ini, yang penting adalah pengesahan Kelompok Kerja Pembentukan Provinsi Banten (Pokja-PPB) yang diketuai Irsyad Djuwaeli, dengan Sekretaris Umum Rusli Ridwan, dan Bendahara R. Gunawan, dan duduk sebagai penasehat sejumlah tokoh seperti Ekky Syahruddin, H. Tubagus Bachtiar Rifa’i, Tubagus Chasan Sochib, Uwes Qorny, H. Embay Mulya Syarif, H. Djoko Munandar, Tubagus Farich Nahril, Djajuli Mangkusubrata, Uu Mangkusasmita, dan lain-lain (Supandri, 2002:37-38).

      Sosialisasi untuk mendirikan Provinsi Banten terus digulirkan melalui berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Dalam berita-berita itu diungkapkan bahwa usaha untuk mendirikanProvinsi Banten sebenarnya sudah dimulai tahun 1953. Respons dan antusiasmeberbagai kalangan masyarakat terhadap ide PPB telah mendorong beberapa tokoh elite untuk mengkonsolidasikan diri secara lebih teratur, sistematis dan teroganisasi.

        Sementara itu, gagasan tentang PPB bergulir terus. Masih pada bulan Agustus 1999 dibentuklah Badan Pekerja Komite PPB di Kampung Pari, Kecamatan Mandalawangi. badan ini bertugas menyusun kepengurusan di tiap Kabupaten. pada waktu itu disusun Pengurus Sub Komite- PPB (SK-PPB) Kabupaten Pandeglang dengan Ketua Aceng Ishak. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1999 diadakan pertemuan di Pondok Kharisma Labuan dan menghasilkan Forum Silaturahmi Warga Pandeglang Fosgalang) yang akan memperkuat perjuangan SK-PPB Pandeglang. Selanjutnya pada tanggal 11 September 1999, di Gedung Graha Pancasila Paneglang, SK-PPB Pandeglang dideklarasikan sekaligus pelantikan Pengurus Fosgalang. Organisasi ini diketuai oleh H. Djadjat Mudjahidin, Wakil Ketua K.H. Aminuddin Ibrahim, dengan Ketua Dewan Penasehat H.M. Zein, mantan Bupati Pandeglang, dalam acara itu SK-PPB Pandeglang mengeluarkan pernyataan sikap yang isinya antara lain mendesak kepada Pemda dan DPRD Pandeglang untuk segera memproses pendirian Provinsi Banten (Mansur, 2001:144-145).

    Aktifitas di Pandeglang ini sangat menarik terutama kemudian dikaitkan dengan pernyataan seorang tokoh yang bersifat legitimasi historis. Ia menyatakan bahwa kakeknya pernah berpesan bahwa bila ingin mewujudkan Provinsi Banten, kalau mau berhasil harus dimulai dari Paneglang, di tutugan Pulosari. Oleh karena itu, ketika diadakan pertemuan di kampung Pari, ia merasa yakin akan berhasil, karena Tutugan Pulosari adalah bekas Kerajaan Salakanagara dahulu (Mansur,2001:145). Hal ini menarik karena pernyataan dibuat setelah Provinsi Banten berdiri, atau pernyataan bersifat post-eventum.

     Pada tanggal 20 September 1999, pengurus SK-PPB Bandung Raya dibentuk, dengan Ketua: H. Muslim Djamaludin, Sekretaris Tb. Kun Maulawarman, pada saat yang sama dibentuk pula SK-PPB di Kabupaten Serang dengan Ketua: Achmad Sudirdja, menyikapi apa yang tengah terjadi di Banten, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat mulai memperhatikan sikap karena kalau Banten berdiri sendiri, itu berarti sebagian Pendapatan Asli Daerah (PAD) hilang, belum lagi dampak lainnya. Rombongan unsur-unsur masyarakat Banten berupaya datang ke Gedung Sate untuk menyampaikan aspirasi mereka. Misalnya pada tanggal 4 Oktober 1999, Forban (Forum Pergerakan Banten) yang terdiri dari beberapa unsur organisasi mahasiswa kedaerahan yang berdomisli di Bandung antara lain Kumandang (keluarga Mahasiswa Pandeglang), Kumala (Keluarga Mahasiswa Lebak), KMC (kKeluarga Mahasiswa Cilegon), IMB (Ikatan Mahasiswa Banten), KMB (Keluarga Mahasiswa Banten), IKMB (Ikatan Keluarga Mahasiswa Banten), dan Kamayasa (Keluarga Besar Mahasiswa Tirtayasa), salah satu Presidiumnya adalah Saefudi, dan sebagai kordinator divis aksi yaitu Iwan Ridwan, datang untuk berdialog dengan Gubernur Jawa Barat pada tanggal 29 Oktpber 1999, Gubernur Jawa Barat H.R. Nuriana menyerahkan bantuan dari Yayasan “Saung Kadeudeuh” untuk masyarakat Banten, berupa bantuan uang muka rumah RSS bagi 156 karyawan golongan I dan II di Kabupaten Lebak, sebesar 218,4 juta. Dalam kesempatan itu, Gubernur mempertanyakan apakah keinginan untuk mendirikan Provinsi Banten itu merupakan keinginan segelintir elite atau memang keinginan rakyat?, Gubernur menyarankan agar diadakan referendum. Secara diplomatis Gubernur menyatakan bahwa ia tidak akan menghalang-halangi PPB, sepanjang itu dilakukan secara demokratis dan konstitusional (Pikiran Rakyat, 30 Oktober 1999).

    Sebagai kelanjutan berdirinya KPPB, pada tanggal 2 November 1999 dibentuk Pengurus Sub Komite Pembentukan Provinsi Banten (SK-PPB) di Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, yang diketuai oleh H. Tamin HR dan pada hari yang sama dibentuk pula Pengurus SK-PPB di Cilegon yang diketuai oleh H. Zaidan Riva’i (Ketua DPRD Cilegon) (Supandri, 2002:47).

      Dalam perjalanan waktu yang relatif cepat, ada dua organisasi PPB yang besar yaitu KPPB yang telah berdiri tanggal 18 Juli 1999 dan Pokja-PPB yang berdiri tanggal 1 Agustus 1999. Ketua kedua organisasi ini sam-sama berasal dari Rangkasbitung dan umur organisasi keduanya hanya terpaut dua minggu saja. Namun tampaknya ada ketidakcocokan di antara kedua ketuanya. Meskipun sudah ada upaya untuk mencari wadah koordinasi untuk mempersatuakn KPPB dan Pokja-PPB, agaknya tindakan Pokja-PPB dibalas oleh KPPB. Pada tanggal 6-7 November 1999 dilangsungkan Rapat Koordinasi (Rakor) KPPB yang dilaksanakan di Islamic Center, Serang dalam Rakor ini POkja- PPB tidak diundang. Rakor ini dihadiri oleh perwakilan dari empat Kabupaten dan dua Kota di Banten. Kegiatan ini dilanjutkan dengan pertemuan pada tanggal 20-24 November 1999 di Pondok Kharisma Labuan, yang menghasilkan poko-pokok pikiran setebal 10 halaman, yang dirumuskan oleh Tim Sembilan yaitu Uwes Qorny, Eutik Suwarta, Aceng Ishak, H.E. Tjutju Suryalaga, Agus Aan Heryana, Yayat Hasrat Triana, Dede Biul, H. Djadjat Mudjahidin, dan K.H. Djunaedi. Pokok-pokok pikiran yang disebut “Buku Biru” itu disampaikan kepada DPRD se-Wilayah Keresidenan Banten, DPRD Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat, DPR-RI, dan Presiden Abdurahman Wahid (Mansur,2001:162-173).

      Perseteruan antara Pokja-PPB dengan KPPB meletup pada tanggal 27 November 1999, Tim Pokja PPB mengadakan pertemuan di Rumah Makan sari Kuring Cilegon. Dalam acara itu diundang para Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan tokoh-tokoh masyarakat, seperti Ekky Syahruddin,SE (anggota DPR-RI), H. Tubagus Farich Nahril, H. Tubagus Chasan Sochib dan lain-lain. Sementara, pengurus KPPB tidak diundang secara tertulis. Namu atas saran H. Tubagus Chasan Sochib, pengurus KPPB diminta hadir. Ternyata dalam pertemuan itu, para tokoh KPPB hanya menjadi penonton sehingga suasana pertemuan menjadi tegang. Ekky Syahruddin yang menjadi pemandu acara berusha mengharmonisasikan suasana dengan meminta Iwa Tuskana wakil KPPB untuk angkat bicara. Ketika berbicara itulah terdengar gelas pecah-pecah. Meskipun Ekky berusaha keras mengatasi situasi, para pengurus KPPB akhirnya meninggalkan acara sebelum pertemuan usai (Mansur,2001 155, juga wawancara dengan H.Tb.Farich Nahril pada tanggal 19 Agustus 2003). Pada malam itu diumumkan juga dana perjuangan yang berhasil dikumpulkan dari para Bupati, Walikota, dan para tokoh Banten.
Melihat sikap masyarakat Banten yang begitu antusias dengan PPB, wakil-wakil rakyat di Dewan tingkat Kabupaten-Kabupaten Keresidenan Banten cepat tanggap dengan aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat. Pada tanggal 2 Desember 1999, DPRD Tk.II Serang memberikan Keputusan untuk menyetujui Pembentukan Provinsi Banten.

     Isu tentang Provinsi Banten terus bergema, para tokoh Banten berusaha mendapatkan dukungan dari Mendagri. Kelompok Jakarta dan para tokoh Banten lainnya mendapat kesempatan untuk bertemu Mendagri Suryadi Sudirdja, setelah Menteri meresmikan pameran di Hotel Bidakara, Jakarta pada tanggal 3 Desember 1999. dalam pertemuan yang dilakukan di Restourant Hotel tersebut, para tokoh Banten yang hadir adalah Tb. Farich Nahril, H. Mardini. H. Uwes Qorny, H. Irsyad Duwaeli, Aly Yahya, H.M.I. Tihami, dan H.Tb.Chasan Sochib. Mendagri memberikan saran bila rakyat Banten memang sudah bulat. H. Tb. Farich Nahril, masih ada hubungan keluarga dngan Ekky Syahruddin, yang sengaja datang dalam pertemuan itu, atas undangan Aenk Haerudin, anggota KAHMI yang menjadi pengurus Pokja-PPB. Namun, ia meninggalkan pertemuan sebelum acara selesai setelah melihat situasi yang diwarnai ketegangan antara KPPB dan Pokja-PPB.

       Pada tanggal 5 Desember 1999, KPPB menggelar rapat akbar di Mesjid alun-alun Agung Banten Lama dengan tema “Melalui Munas Pembentukan Provinsi Banten Kita Tingkatkan Kesejahteraan Perekonomian Rakyat” . Dalam kesempatan itu Aceng Ishak membacakan “Deklarasi Nasional Pembentukan Provinsi Banten”. Dalam acara deklarasi, yang dihadiri Uwes Qorny dan tokoh-tokoh KPPB ini, juga berhasil dikumpulkan ribuan tanda tangan masyarakat yang hadir di alun-alun, di atas kain spanduk sepanjang 25 meter. Teks Deklarasi yang dirancang oleh Tim KPPB itu berbunyi sebagai berikut: “Kami rakyat Banten dengan ini menyatakan bahwa Propinsi Daerah Tingkat I Banten sudah saatnya dibentuk. Hal-hal yang menyangkut legalisasi hendaknya diselenggarakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam tempo secepat-cepatnya. Semoga Allah SWT. meridhoi perjuangan kami. Amien (Mansur,2001:174).

    Dalam rekomendasi KPPB disebutkan bahwa KPPB adalah satu-satunya wadah masyarakat Banten untuk memperjuangkan Propinsi Banten. Mungkin hal ini bisa dianggap sebagai tindakan mengesampingkan Pokja-PBB yang diketuai K.H. Irsyad Djuwaeli atau menunjukan bahwa ada ketidakcocokan antara Pokja-PBB dengan KPPB, terutama menyangkut ketua umum kedua organisasi ini. Menurut beberapa sumber kedua organisasi ini memamng berkompetisi untuk mendapat pengakuan sebagai satu-satunya wadah untuk memperjuangkan Propinsi BAnten (Mansur, 2001:147-148, juga wawancara dengan Tb.Farich Nahril, 19 Agustus 2003, dan keterangan tertulis H. Mardini, 11 September 2003).

    Selanjutnya pada tanggal 7 Desember 1999, DPRD Tingkat II Lebak mengeluarkan surat keputusan persetujuan untuk PBB, diikuti kemudian pada tanggal 13 Desember 1999 oleh DPRD kabupaten Serang. Sehari kemudian, tanggal 14 Desember DPRD Kota Cilegon menyampaikan keputusan yang sama. Surat-surat keputusan ini tentu saja ditembuskan ke DPRD Jawa Barat dan DPR RI Jakarta, sebagaimana juga surat keputusan dari DPRD Tk II Pandeglang.

      Pada tanggal 16 Desember 1999, rombongan ulama dan tokoh masyarakat Banten baik formal maupun informal datang untuk menyampaikan aspirasi mereka ke Gedung Sate. Selanjutnya, pada tanggal 20 Desember 1999, DPR RI mengadakan kunjungan kerja ke Bandung dan mempertanyakan masalah ini kepada Gubernur Jabar. Dalam kesempat itu, Gubernur menjelaskan bahwa peluang PBB cukup terbuka, asalkan keinginan itu merupakan keinginan masyarakat Banten yang diproses secara demokratis dan konstitusional, dan secara politis disetujui oleh DPRD setiap kabu[paten/ kotamadya.
Pada tanggal 9 Januari 2000 diselenggarakan aacara memperingati Haul Sultan Maulana Hasanudin di kediaman K.H. Tb. A Sadzili Wasi, pimpinan Pondik Pesantren Al-Qur’aniyah Banten yang berada dalam kompleks Masjid Agung Serang. Dalam kesempat itu, Akbar Tanjung yang hadir selaku Ketua DPR-RI menyatakan dukungan atas pembentukan Propinis Banten. Sementara itu DPRD Tingkat II Banten yang telah menyetujui PBB adalah Serang, Pandeglang, Rangkasbitung, dan Lebak. Tanerang saat itu masih belum memberikan persetujuannya ( Mansur, 2001:183).

       Selanjutnya di Bandung, ketika Ketua DPR RI sudah menyatakan sikap mendukung PBB, DPRD Propinsi Jawa Barat pun akhirnya menyetujui untuk dibentuknya Undang-undang PBB. Namun, Gubernur Jawa BArat tidak begitu saja menyetujui. Pemda Propinis Jabar, pada awal Januari 2000 meminta kepada Bappeda Jabar untuk mengadakan studi kelayakan bakal Propinsi Banetn. Bappeda Jabar meminta Kusnaka Adimihardja, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, Yudistira Garna, Guru Besar Antropologi Ahli Baduy dari Universitas Padjadjaran, dan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, untuk membuat kajian sosial budaya dan sejarah Banten. Sebagai akademisi, ketiga pakar membuat kajian obyektif sesuai bidang masing-masing.

      Isu PBB terus bergulir dalam berbagai temuan formal maupun informal seperti pengajian, training pengkaderan aktivitas, dalam seminar, diskusi serta pertemuan para ulama dan berbagai kalangan lain. Dalam berbagai kegiatan ini pengembangan semangat korps, solidaritas, dan perasaan senasib sepenanggungan menjadi sesuatu yang penting. Perasaan ini dikembangkan para tokoh Banten dengan mengekspos isu etnisitas bahwa Banten itu berada dengan periangan. Secar historis Banten mempunyai jalan sejarahnya sendiri yang berbeda denag sejarah Priangan yang sempat dijajah Mataram.Sementara Banten sempat berjaya dengan kesultanannya. Bahkan sejak lama Banten dan Periangan itu berhadapan baik secara langsung aupun tidak langsung. Pada zaman kolonial para pamong praja Priangan dianggap sebagai kaki tangan Belanda. Seperti telah dikemukakan bahwa dalam gerakan sosial yang mewabah di Banten pada abad ke-19, yang dijadikan sasaran adalah para pejabat kolonial dan pamong praja. Dan permusuhan ini berlanjut sampai zaman kemerdekaan sengan terjadinya pengusiran birokrat Priangan oleh kaum revolusioner Banten. Pada zaman Orde Baru malah Banten merasa dijajah kembal para birokrat Priangan yang menjadi para bupati dan pejabat. Dengan format dan struktur poltik yangbersifat sentralistis, penempatan pejabat-pejabat penting di daerah seperti bupati dan walikota sangat ditentukan oleh selera pusat atau propinsi sehingga tidaj aneh jika jabatan-jabatan itu hampir selalu merupakan porsi pejabat dari Priangan. Dengan jabatan puncak di daerah yang dikuasai pejabat dari Priangan tidak sedikit jika rekrutmen pegawai pun banyak dari orang Priangan juga sehingga KORPI diplesetkan menjadai “Korp Priangan”. Ketua STAIN Hasanuduin, mencontohkan bagaiman porsi pengisian pegawai di kampanye menjadi sepenuhnya wewenang orang propinsi tanpa ada kemampuan pihaknya untuk merekrtu pegawai sesuai kebutuhannya. Wakil Ketua KPPB,Djajuli Mangkusubrata di hadapan tim DPOD di Serang pernah menyatakan, “Rakyat Banten lebih baik hidup merdeka dalam Propinsi Banten seklipun serba kekurangan dahulu dari pada hidup serba ada tapi tetap “dijajah” oleh propinsi lain. Hal yang sama sebagaimana dikatakan Guru Besar UNTIRTA Suparman Usaman, dengan mengutip pahlawan Filipina, Jose Rizal bahwa, “Lebih baik hidup di neraka tapi merdeka dari pada hidup di surga tapi “dijajah”. Barangkali satu hal cukup mengagetkan, dipintu rumah seorang penduduk Baduy luar, tertempel stiker bertuliskan “Propinsi atau Mati”.

       Tb.H. Farich Nahril, MBA mengajak H. Mardini dan Muchtar Mandala, untuk ikut serta dalam perjuanagan pembentukan Propinsi Banten. Mereka berusaha mencari penyelesaian yang tepat untuk mengkoordinasikan semua elemen yang terkait dengan PBB, termasuk merukunkan Pokja-PBB dan KPPB. Mereka bertiga melakukan pertemuan di Hotel Arya Duta Jakarta. Para tokoh ini sepakat untuk mengundang kedua kubu yang terlibat konflik. Dalam pertemuan berikutnya, tanggal 18 Januari 2000, di tempat yang sama, ternyata hanya KK. Irsyad Djuwaeli yang memenuhi unangan Farich dan kawan-kawan. Meskipun belum berhasil mempertemukan kedua tokoh itu, tetapi persoalan agaknya sudah jelas. Kedua kelompok besar itu, saling mengkalim sebagai wadah satu-satunya untuk memperjuangkan Propinsi Banten. Padahal menurut kubu Irsyad Djuwaeli, KPPB bertugas melakukan sosialisai PBB ke tingkat grass-root, sedangkan POKJA-PBB bertugas mempersiapkan SDM dan SDA dalam rangka PBB (Mansur,2001:176, juga wawancara dengan Tb. H. Farich Nahril, 19 Agustus 2003 dan keterangan tertulis dari H. Mardini, 11 September 2003). Namun yang tampak ke permukaan adalah pesaingan antara kedua kelompok itu. Apabila dalam satu kelompok terlontar satu gagasan utnuk menyelenggarakan kegiatan, tiba-tiba kelompok lainnya mendahului mengadakan kegiatan, tiba-tiba kelompok lainnya mendahului mengadakan kegiatan tersebut. Dalam pandangan Tb.Farich Nahril dan kawan-kawan, konflik antara KPPB dan Pokja-PBB inisangat kontra-produktif dalam mewujudkan PBB. Itulah sebabbya konflik harus segera diakhiri secara ‘win-win solution.” Selanjutnya, atas usaha H.Mardini, Ketua KPPB H.Uwes Qorny akhirnya bersedia untuk bertemu dengan ketua Pokja-PBB KH. Irsyad Djuwaeli. ” Kelompok Jakarta” akhirnya berhasil “merukunkan” kedua tokoh yang berseteru itu dalam acara silaturahmi yang diadakan di Restoran Jepang Shima, di Hotel Arya Duta Jakarta. Dalam pertemuan itu, selain ketiga pemrakarsa, hadir pula cendikiawan Banten, H.MA Tihami, dua anggota DPR RI asal Banten yaitu Ekky Syahruddin danAly Yahya, serta tokoh-tokoh dari kedua kubu yaitu Hasan Alaydrus, H.Segaf Usman, Udin Safarudin, Aenk Haerudin, H. Bay Mulyadi Jayabaya, Uu Mangkusasmita, dan lain-lain yang berjumlah sekitar 15 orang. Dalam kesempatan itu, Muchtar Mandala mengusulklan utnuk mengadakan silatuhrami besar-besaran di tempat peristirahatannya di Kampung Nyimas Ropoh di Pandeglang.

       Sementara itu, meski agak terlambat, mengingat adanya tarik-menarik antara yang pro dan kontra di Kabupaten Tangerang, baru pada tanggal 22 Januari 2000, Pimpinan DPRD Kabupaten Tangerang mengeluarkan Surat Pernyataan Persetujuan untuk Pembentukan Propinis Banten. Para tokoh Banten bergerak terus menggalang dukungan dario elite Banten yang berada di luar Banten, seperti Bandung, Bogor, dan Jakarta. Hasilnya cukup positif, meskipun tentu saja tidak sedikit elite yang dengan berbagai alasan tidak tertarik untuk mendukung PBB. Akan tetapi, pada akhirnya kebanyakan elite Banten bersikap mendukung. Salah seorang tokoh BAnten yang tinggal di Jakarta adalah Tb. H.Tryana Sjam’un. Ia mantan bankir yang juga pengusaha serta menjadi pemegang saham dan komisaris di berbagai perusahan ini.Ia tampil menjadi motor penggerak dari berbagai kegiatan yang berskala nasional dalam rangka mewujudkan Propinsi Banten. Awal keterlibatannya secara langsung dimulai ketika Uwes Qorny Sjam’un, sebagai pengusaha yangbiasa dahulu studi kelayakan tentang PBB. Studi kelayakan harus dilakukan oleh tim independen. Ketika ia bertemu kembali dengan sahabatnya itu, Uwes Qorny menyatakan, bahwa kajian seperti itu akan memakan waktu terlalu lama, sementara PBB harus dicapai dalam waktu secepatnya.

      Sesuai dengan kesepakatan di Hotel Arya Duta tanggal 18 Januari 2000, mengdakan acara hala-bihalal di kampung Nyimas Ropoh, Pandeglang. Bertindak sebagai tuan rumah adalah H. Muchtar Mandala Menurut tuan rumah, dalam buku tamu tercatat sebanyak 540 orang yang hadir; ditambah dengan panitia dan tamu-tamu yang tidak mengisi buku tamu, diperkirakan jumlah peserta yang hadir mencapai lebih dari 600 orang. Mendagri Surjadi Sudirdja, yang hadir atas usaha H. Mardini, dalam sambutannya mengatakan bahwa selama hidupnya baru kali ini menyaksikan begitu banyak tokoh Banten dapat berkumpul bersama. Memang, “Pertemuan Nyimas Ropoh” dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat mulai dari para ulama, para pendekar, ibu-ibu yang tergabung dalam IWABA (Ikatan Wanita Banten), pemuda, mahasiswa, para tokoh masyarakat baik yang ada di Banten maupun yang berada di luar Banten, para Bupati se-Banten, serta para ketua DPRD se-Banten. Dalam pertemuan silatuhrahmi ini, yang bertindak sebagai pengundang yaitu Uwes QOrny,Irsyad Djuwaeli, dan H. Mardini. Sementara itu, para tokoh Banten yang hadir antara lain Mendagri Letjen (purn) Suryadi Sudirdja, Ketua KAHMI Jaya, Tb. Farich Nahril, Tb. H. Tryana Sjam’un, Anggota DPR-RI Ekky Syahrudin, H.M. Aly Yahya, dan Umbu Saraswati, cendekiawan asal Banten Rony Nitibaskara, Mustopadidjaja, danH>MA Tihami, pengusaha H. Tb. Chasan Sochib, AJat Sudrajata, H. Hariri Hady, artis Muni Cader dan Dedy Gumelar (Miing Bagito), H. Aceng Ishak, H. Djadjat Mudjahidin, Elwa Tuskana, H. Djuwanda, H.Bay Mulyadi Jayabaya, para ulama KH. Aminuddin Ibrahim. LML, KH. Yusuf, dan H. Embay Mulya Syarif H. Irja Karis, H.Mansyur Muchjidin, H.Tb. Aat Syafaat, Uu Mangkusamita, H. Djajuli Mangkusubrata, Agus Najiullah, Tb. Encep Hadimulyana. Para pejabat Banetn yang Hadir antara lain Bupati Pandeglang Yitno, Bupati Lebak Yas’a Mulyadi, ketua DPRD Pandeglang, Encep Daden Ibrahim, dan Ketua DPRD Kab. Tangerang. Tokoh lainnya yaitu, Dadang, Aceng Ishak, Hariri Hadi, Sudradjat, Harun Kamil, Palgunadi, dan lain-lain.

      Sebagai puncak acara dibacakan “Deklarasi Nyi Mas Ropoh” yang dibacakan oleh Encep Daden Ibrahim, Ketua DPRD Pandeglang dengan didampingi oleh ketua-ketua DPRD se Banten. Hal ini dapat dipandang sebagai dukungan resmi dari semua Ketua DPRD Tingkat II Karesidenan Banten, yang hadir dalam acara itu. Isi pernyataan itu sebagai berikut :

1. Kami warga masyarakat Banten senantiasa konsisten untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Kami warga masyarakat Banten mendesak lembaga legislatif dan eksekutif, baik di daerah maupun di pusat, untuk segera mewujudkan Banten sebagai propinsi, serta kami siap berpegang teguh menerima amanat aspirasi masyarakat akan terbentuknya Banten propinsi.
3. Kami warga masyarakat Banten bersepakat untuk tetap menjaga keutuhan dan kebersamaan dalam rangka merealisir amanat tersebut sesuai dengan harapan masyarakat Banten sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Banten. Demikian surat pernyataan sikap bersama ini kami buat dengan sebenar -benarnya tanpa ada intervensi tanggungjawab akan terciptanya masyarakat adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Semoga niat ini selalu ada dalam lindungan Allah Swt. Amin (Mansur,2001:180-181).

      Suasana pertemuan itu menyiratkan bahwa mereka yang hadir pada umumnya merasakan kobaran semangat para peserta dan tumbuhnya rasa kebersamaan, rasa persaudaraan yang begitu menyatu, kompak bersatu untuk satu tujuan yang tidak mungkin dapat dibendung lagi yaitu semangat “Banten harus menjadi Propinsi”.Beberapa peserta merasa yakin dengan semangat seperti ini Banten “pasti” jadi Propinsi, bahkan kalau melihat suasana pertemuan waktu itu, ada semacam perasaan seakan Banten benar-benar telah menjadi Propinsi.

     Seperti telah disepakati dalam pertemuan di kampung Nyimas Ropoh, para tokoh Banten menemui ketua DPR RI pada tanggal 25 Januari 2005. Rombongan berkumpul lebih dahulu di Permata Hijau untuk mematangkan rencana kemudian berangkat bersama-sama ke gedung DPR RI di Senayan Jakarta. Tokoh-tokoh masyarakat Banten yang hadir yaitu Pimpinan DPRD sewilayah Banten, H.Uwes Qorny, Tb. H.Farich Nahril, H.Muchtar Mandala, H. Mardini, Tb.H.Tryana Sjam’un, Irsyad Djuwaeli, Tb.Chasan Sochib, KH.Aminuddin Ibrahim, H.Tb. Aat Syafaat, Djunaedi As’ad, dan lain – lain. Para tokoh Banten ini diterima dengan baik oleh Ketua DPR RI Akbar Tanjung yang didampingi beberapa pimpinan DPR lainnya di Gedung Nusantara III di Lantai.

     Dalam kesempatan itu, Ketua DPR RI menyatakan bahwa dilihat dari tuntutan masyarakat, urgensi usul PBB itu sangat tinggi sehingga DPR akan berupaya agar aspirasi tersebut dapat tersalurkan dengan baik. Usai pertemuan itu, rombongan yang berjumlah sekitar seratus orang itu dijamu makan siang oleh Tb. H. Tryana Sjam’un di Restoran Lagoon Hotel Hilton Jakarta. Pada saat itu dibicarakan tentang strategi dan langkah-langkah lanjutan serta anggaran biaya yang dperlukan untuk berbagai kegiatan PBB karena tidak mungkin suatu organisasi bisa berjalan tanpa dukungan finansial. Pada malam harinya, Tryana Sjam’un mengundang makan malam beberapa tokoh yang hadir dalam pertemuan siang itu dirumahnya di Kemang Selatan. Dalam kesempatan itu, Tryana Sjam’un menyeahkan sejumlah uang kepada H.Mardini untuk kegiatan PP. (keterangan tertulis H.Mardidi 11 September 2003).

        Pertemuan “Kelompok Jakarta” selanjutnya dilakukan di rumah Tb. H.Farich Nahril di Permata Hijau. Sebagai seorang organisatoris kawakan, ia menekankan perlunya perencanaan yang baik yang pasti harus ada dukungan finansial yang cukup. Maka Ketu KAHMI jaya ini mengontak para pengusaha asal Banten yang dikenalnya. Dalam pertemuan di Permata Hijau itu, Tb. Farich Nahril mengusulkan dibentuknya wadah yang berfungsi sebagi “koordinator” organisasi-organisasi dan elemen-elemen yang terkait dengan PBB. Para pengusaha asal Banten itu kemudian membentuk wadah yang disebut “Koordinator Himpunan Pengusaha Banten”, yang anggotanya terdiri dari Tb.Farich Nahril, H. Muchtar Mandala, Tb. H.Tryana Sjam’un, KH. Irsyad Djuwaeli, Tb.H. Chasan Sochib, H. Mardini, dan lain-lain.

      Pada tanggal 4 Februari 2000, para pengusaha Banten di atas mengundang para tokoh masyarakat Banten untuk menghadiri pertemuan dirumah Tb. H.Tryana Sjam’un, di Jalan Kemang Selatan VIII Jakarta. Bertindak sebagai panitia pengundang adalah Tb. Farich Nahril dan H. Mardini. Dalam pembukaan rapat, H. Mardini menyampaikan perlunya dibentuk wadah berupa organisasi dan perlunya seorang tokoh yang bakal memimpin organisasi ini. Sebagaian besar peserta pertemuan itu hampir menyepakati dibentuknya wadah Himpunan Pengusaha Banten, yang memang telah dibentuk sebelumnya. Namun H.Muchtar Mandala, mengusulkan wadah yang lebih tepat untuk menyatukan kelompok-kelompok perjuangan PBB ia mengusulkann agar wadah itu dinamai Badan Koordinasi Pembentukan Propinsi Banten (Bakor-PBB). Rapat juga menyepakati Tb. H.Tryana Sjam’un sebagai Ketua Umum Bakor-PBB, yang diterima para hadirin secara aklamasi sebagaiketua Umum Bakor-Banten dan Tb. H.Farich Nahril sebagai Sekretaris Umum dan H. Mardini sebagai Bendahara Umum. Dalam rapat penyempurnaan pengurus di Jalan Penglima Polim Raya No.49 Jakarta ditetapkan nama wadah tersebut sebagai Badan Koordinasi Pembentukan Propinsi Banten (Bakor-PBB), yang beranggotakan semua unsur pergerakan perjuangan Propinsi Banten yang berada di wilayah Banten dan sekitarnya termasuk yangada di Jakarta, Bandung, Bogor, dan Lampung. Dalam gerakan PBB, tidak bisa dilupakan peran mahasiswa sebagaimana juga ketika terjadi penggantian Orde Lama oleh Orde Baru, kemudian pergantian Orde Baru, peran mahasiswa sangat signifikan. Demikian juga dalam gerakan PBB, kontribusi mereka cukup penting. Para aktivis mahasiswa ini mengkonsoli-dasikan diri ke dalam berbagai kelompok dan forum untuk maksud membantu mengaktualisasikan pembentukan Provinsi Banten ini baik yang ada di Banten sendiri maupin di luar Banten seperti, mulai dari Senat Mahasiswa Untirta,STAIN, IAIB, AMIK, dan Akperta di Banten hingga organisasi-organisasi mahasiswa di luar Banten seperti di Depok: Fakultas UI, di Bandung: Forum pergerakan Mahasiswa Banten (FORBAN), Kumala, Kumandang, Kumayasa, IMB, IKMB, KMB, HMB, dan Himata, serta di Bogor: Gerakan Mahasiswa (GEMA) (Mulyana, 2000:314).

     Tidak ketinggalan juga adalah warga Banten di luar Banten yang turut terpanggil untuk mengkonsolidasikan diri atau setidaknya lebih eksis setelah adanya isu ini seperti warga Banten yanga ada di Bandung (Riwaban), Warga Banten Jakarta, Cianjur, Lampung dan lain-lain. Pengorganisasian gerakan semacam ini tentu saja menjadikan upaya-upaya untuk mencapai sasaran gerakan menjadi lebih efektif dan efisien. Misalnya dengan mendesakan dukungan dan rekomendasi dari lembaga-lembaga politik formal baik di tingkat regional, lokal maupun nasional (Mulyana, 2000:315).

         Pada bulan Mei dilakukan rapat Pansus dengan mengundang pemerintah. Waktu itu pemerintah meminta penundaan UU Pembentukan Provinsi Banten karena pembentukan DPOD belum selesai. Tentu saja penundaan itu membuat masyarakat Banten kesal hingga ada yang mengancam akan menutup jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta atau mengancam akan memadamkan PLTU Surlayala dan memblokir penyebrangan Merak-Bakauheni (Mansur, 2001:2004-241).

        Pada tanggal 8 Juni 2000, Ketua Dewan Penasehat Bakor-PBB Tb. H. Chasan Sochib bersama unsur Muspida se-Wilayah I Karesidenan Banten dan tokoh-tokoh masyarakat Banten mengadakan pertemuan untuk pamit kepada Gubernur Jawa Barat pertemuan dilangsungkan di Gedung Dispenda Jawa Barat di jalan Soekarno Hatta. Dalam kesempatan itu, Gubernur HR Nuriana belum bisa mengatakan soal setuju atau tidak karena hasil penelitian DPOD pun belum ada. Di antara peserta pertemuan, ada yang merasa kurang setuju dengan pernyataan Gubernur JAbar itu sehingga keluar ruangan. Setelah pertemuan itu, Tb. H. Chasan Sochib spontan mohon izin untuk pamitan keliling ke daerah-daerah Tingkat II Jawa Barat, Bogor, Cirebon, Purwakarta, dan Garut. Safari perpisahan itu dilakukan tanggal 20-23 Juni 2000 (Mansur, 2001:261-271).

         Ketika akhirnya DPOD terbentuk, Bakor-PBB pun bergerak cepat. Lobby demi lobby dilakukan pimpinan Bako-PBB kepada para mentri yang menjadi anggota DPOD yaitu, Menteri Otda Ryaas Rasyid dan Mentri Hukum/Perundang-undangan dan HAM, Yusril Ihza Mahendra. Dalam rapat DPOD, akhirnya semua mentri memutuskan bahwan wilayah Banten layak menjadi Provinsi (Mansur, 2001:242).

         Pada tangga 18 Juli 2000, para tokoh Banten melakukan kunjungan silaturahmi kepada Presiden Abdurahman Wahid di Bina Graha. Beberapa tokoh Banten yang berbicara kepada Presiden, antara lain Tb. H. Triyana Sjam’un dan Aly Yahya. Dalam Kesempatan itu, Presiden menyatakan bahwa hasil sidang DPOD sudah diterimanya dan sudah ditandatangani. Pada kesempatan itu pula Presiden menyatakan bahwa leluhurnya, dari delapan generasi lalu, berasal dari Tanara. Jadi ia masih memiliki hubungan kerabatan dengan Syekh Nawawi Al-Bantani (Mansur, 2001:243-244).

       Tim DPOD mengundang Bakor-PBB untuk mendengarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim LJPI. Kajian ini dilaksanakan atas kajian Tim DPOD. Pada tanggal 29 Agustus 2000, Bakor-PBB diundang oleh Pansus DPR-RI untuk membicarakan finalisasiPembentukan Provinsi Banten. dalam kesempatan itu, Ketua Pansus, Amin Aryoso menyatakan dengan modal dari mana Banten akan bisan berjalan sebagai Propinsi.dalam kesempatan itu, Ketuan Umum Bakor-PBB, Tb. H. Tryana Sjam’un yang didampingi Ketua Bakor-PBB, H.Uwes Qorny, menegaskan bahwa Banten telah siap menjadi sebuah Provinsi. Saat itu, Tryana denganmenitikan air mata menjawab, bahwa untuk menjalankan Provinsi yang baru itu, jika dianggap perlu, masyarakat Banten akan iuran. (Wawancara dengan Tb.H. Tryana Sjam’un, tanggal 2 September 2003).

       Pada tanggal 5 September 2000 Mendagri Suryadi Sudirdja, bersama Tim DPOD, didampingi bakor-PBB mengadakan peninjauan kelapangan yang dipusatkan di Pendopo Kabupaten Pandeglang. Dalam peninjauan ke lapangan ini hadir antara lain Menotda Ryaas Rasyid, Menhankam, dan Gubernur HR Nuriana. Kegiatan ini juga dimanfaatkan untuk mengekspos hasil studi kelayakan yang dilakukan LJPI. Untuk meng-counter hasil kajian LIPI yang agak kurang menguntungkan Bantenitu, Dodi Nandika dan Dedi Barnawijaya, anggota Tim Pakar Bakor-PBB, menyampaikan hasil lokakarya Bakor-PBB di Hotel Hilton tanggal 19-20 Agustus 2000, Selanjutnya, Ketua Umum Bakor-PBB Tb. H. Tryana Sjam’un menyampaikan pandangan akhir tentang PBB didepan Tim DPOD. Pertemuan di Pandeglang ini menghasilkan satu keputusan bulat untuk menyetujui dan mendukung dibentuknya Provinsi Banten.

    Dengan demikian dari aspek politis, ekonomis, sosio kultural, konsepsional dan yuridis konstitusional, RUU tentang Pembentukan Provinsi Banten telah memenuhi semua persyaratan sehingga siap untuk di sahkan menjadi UU yang akan dilakukan lewat pembicaraan Tingkat IV/ pengambilan keputusan DPR pada akhir bulan September 2000. Akan tetapi, karena pada akhir September 2000 Dewan sedang menjalankan reses, maka disepakati Pembicaraan Tingkat IV dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 2000, yang didahului dengan Pembicaraan Tingkat III pada tanggal 3 Oktober 2000 dan hal ini telah memperoleh persetujuan Badan Musyawarah pada tanggal 7 September 2000 (Mulyana, 2003:342-343).

       Selanjutnya pada tanggal 3 Oktober 2000 diadakan rapat Pansus. Dalam rapat itu pemerintah telah melaporkan bahwa persyaratan-persyaratan yang diperlukan telah terpenuhi sehingga Pemerintah dapat menyetujui RUU tentang Pembentukan Provinsi Banten telah dibaca dan disetujui untuk diteruskan ke Pembicaraan Tingkat IV ke esokan harinya, yaitu tanggal 4 Oktober 2000, guna mendapatkan persetujuan DPR yang selanjutnya dapat disampaikan kepada Pemerintah untuk di undangkan.

      Pada hari Rabu, 4 Oktober 2000, ribuan masyarakat Banten, mulai dari ulama, mahasiswa, anggota LSM, seniman, memadati halaman Gedung DPR RI hari itu mengadakan Rapat Paripurna yang ditunggu-tunggu masyarakat Banten. Setelah mendengarkan pandangan akhir dari fraksi-fraksi yang ada, maka rapat yang berlangsung ari pukul 9.00 berakhir pukul 13.30 dengan puncak acara pengesahan RUU Pembentukan Provinsi Banten menjadi Undang-Undang no 23 tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Semua Fraksi DPR RI menyetujui secara bulat pengesahan itu. Fraksi Golkar yang menjadi motor usulan inisiatif ini mengharapkan agar strategi kebijakan pembangunan Banten harus meliputi tiga hal, pertama, pemberdayaan masyarakat sebagai inti filosofi “daerah membangun”. Kedua, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengembangan potensi sumber daya Banten dengan menerapkan model pembangunan yang bertumpu pada peran serta masyarakat luas, keterbukaan, pemerintah yang bersih dan bebas KKN, demokratis, responsif, jujur dan adil. Ketiga, pembangunan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan potensi dan karakteristik wilayah, SDA, adat budaya, teknologi, norma agama dan moral serta kemampunan manusia dan masyarakat.
Dalam kata sambutannya Mendagri Suryadi Sudirdja mengatakan bahwa, Pemrosesan pembentukan Provinsi Banten pada khsususnya dan juga pemekaran daerah-daerah lain pada umumnya hanya dapat memberikan suatu pekajaran yang baik bagi kita semua, dalam menghadapi kasus serupa pada masa mendatang. Pelajaran yang dapat kita ambil adalah sebagai berikut :

Pertama, bahwa dalam hendak menetapakan suatu kebijakan, terlebih-lebih yang akan menyangkut kepentingan publik, mestinya kita sepakat perlu adanya mekanisme konsultasi dengan masyarakat, saran dan pendapatnya sehingga apabila kebijakan itu diambil, masyarakat telah siap dan lebih dari itu dapat memberikan dukungan.

Kedua, bahwa proses penetapan kebijakan, dalam hal ini untuk menetapkan suatu Daerah Otonom baru, proses pengkajian dan penelitian merupakana suatu keharusan untuk dilakukan, dengan menggunakan ” metodologi dan teknologi penelitian yang benar dan tepat serta memperlihatkan persyaratan dan kriteria yang berlaku sehingga kebijakan itu secara objektif dan rasional dapat dipertanggung jawabkan yang pada akhirnya keputusan yang di ambil dapat dilaksanakan dengan baik.

Ketiga, bahwa situasi dan kondisi untuk menetapkan suatu keputusan perlu diperhatikan, jangan sampai dukungan masyarakat cukup, kajian sudah benar, maksudnya baik, namun momentumnya tidak tepat sehingga semuanya tidak dapat memenuhi sasaran yang diinginkan. Seperti kasus pemekaran Irian Jaya, yang hingga kini masih diperlukan pematangan kondisinya untuk dapat dilaksanakan secara penuh.

Keempat, bahwa pemekaran suatu darah jangan sampai kontra produktif, yang justru berbalik pada suatu saat akan terpaksa membuat keputusan lagi untuk menggabungkan kembali ke daerah induk, bahkan untuk di hapuskan.

Kelima, bahwa pengaturan dan penyusunan pemerintahan pada era desentralisasi dan otonomi sekarang ini tidak semata-mata untuk mewujudakan tujuan administratif saja, tetapi juga harus menciptakan peluang terbangunnya sistem demokrasi yang sehat dan berdanyanya masyarakat sehingga mampu berprakarsa dan berperan serta dalam kegiatan berbangsa dan bernegara.

       Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, yang esensinya agar fungsi-fungsi pemerintahan dapat terselenggara secara efisien, efektif dan produktif, maka kewenangan pemerintahan daerah yang langsung atau setidak-tidaknya yang paling dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, bila kebijakan pemekaran daerah akan lebih efektif, tentunya lebih memprioritas pada pemekakran Kabupaten daripada Propinsi.

       Tidak dapat dibayangkan betapa gembiranya masyarakat Banten ketika akhirnya Propinsi Banten yang diperjuangkan itu lahir sudah. Para tokoh pejuang Banten berangkulan, bersalaman sambil mengucapkan “Selamat”, bahkan ada yang menitikkan air mata keharuan. Ribuan rakyat Banten histeris sambil memekik “Allaahu Akbar!”, “Hidup Propinsi Banten!”, “Hidup DPR!”. Para ulama memanjatkan doa, dan bersujud syukur di pelataran Gedung DPR RI yang megah itu. Ketua Umum Bakor-PBB Tb. Tryana Sjam’un berkomentar: “Hidup Provinsi Banten!” “Hidup DPR”. Para ulama memanjatkan do’a, dan bersujud syukur di pelataran Gedung DPR RI yang megah itu. Ketua Umum bakor-PBB Tb. Tryana Sjam’un berkomentar: “Kita semua masyarakat banten patut bersyukur kepada Allah SWT. karena hari ini, Rabu 4 Oktober 2000, perjuangan kita yang sudah lama dicita-citakan diterima baik oleh wakil rakyat di DPR RI dan ini berarti Provinsi Banten telah lahir dengan selamat…” (Mansur, 2001:356, wawancara dengan Tb. Tryana Sjam’un). Dengan terbentuknya Provinsi Banten yang ke-30 di Indonesia itu Gubernur H. Nuriana mengaku pasrah dengan persetujuan pemerintah dan DPR itu. Ia mengatakan, “Saya mau aset daerah. Meskipun kita kehilangan PAD cukup besar (Republika, 11 Oktober 2000, hal. 18).

Sejarah Singkat Kerajaan Banten

Sejarah Banten



Sejarah Kerajaan Banten
      Banten awalnya merupakan salah satu dari pelabuhan kerajaan Sunda. Pelabuhan ini direbut 1525 oleh gabungan dari tentara Demak dan Cirebon. Setelah ditaklukan daerah ini diislamkan oleh Sunan Gunung Jati. Pelabuhan Sunda lainnya yang juga dikuasai Demak adalah Sunda Kelapa, dikuasai Demak 1527, dan diganti namanya menjadi Jayakarta.

Kehidupan Politik
     Berkembangnya kerajaan Banten tidak terlepas dari peranan raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut. Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang raja-raja yang memerintah di Banten, berikut silsilah Raja-raja Banten sampai dengan Sultan Agung Tirtayasa: Sultan Hasannudin (1552-1570), Maulana Yusuf (1570-1580), Maulana Muhammad (1580-1596), Sultan Abulmufaki (1596-1640), dan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672).

    Setelah Anda menyimak silsilah raja-raja Banten tersebut, yang perlu Anda ketahui bahwa dalam perkembangan politiknya, selain Banten berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Demak, Banten juga berusaha memperluas daerah kekuasaannya antara lain Pajajaran. Dengan dikuasainya Pajajaran, maka seluruh daerah Jawa Barat berada di bawah kekuasaan Banten. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan raja Panembahan Yusuf.

     Pada masa pemerintahan Maulana Muhammad, perluasan wilayah Banten diteruskan ke Sumatera yaitu berusaha menguasai daerah-daerah yang banyak menghasilkan lada seperti Lampung, Bengkulu dan Palembang. Lampung dan Bengkulu dapat dikuasai Banten tetapi Palembang mengalami kegagalan, bahkan Maulana Muhammad meninggal ketika melakukan serangan ke Palembang.

    Dengan dikuasainya pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa Barat dan beberapa daerah di Sumatera, maka kerajaan Banten semakin ramai untuk perdagangan, bahkan berkembang sebagai kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai puncak keemasannya Banten menjadi pusat perdagangan yang didatangi oleh berbagai bangsa seperti Arab, Cina, India, Portugis dan bahkan Belanda.

  Belanda pada awalnya datang ke Indonesia, mendarat di Banten tahun 1596 tetapi karena kesombongannya, maka para pedagang-pedagang Belanda tersebut dapat diusir dari Banten dan menetap di Jayakarta.



  Di Jayakarta, Belanda mendirikan kongsi dagang tahun 1602. Selain mendirikan benteng di Jayakarta VOC akhirnya menetap dan mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia tahun 1619, sehingga kedudukan VOC di Batavia semakin kuat. Adanya kekuasaan Belanda di Batavia, menjadi saingan bagi Banten dalam perdagangan. Persaingan tersebut kemudian berubah menjadi pertentangan politik, sehingga Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti kepada VOC. Dalam rangka menghadapi Belanda/VOC, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan melakukan perang gerilya dan perampokan terhadap Belanda di Batavia. Akibat tindakan tersebut, maka Belanda menjadi kewalahan menghadapi Banten. Untuk menghadapi tindakan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, maka Belanda melakukan politik adu-domba (Devide et Impera) antara Sultan Ageng dengan putranya yaitu Sultan Haji. Akibat dari politik adu-domba tersebut, maka terjadi perang saudara di Banten, sehingga Belanda dapat ikut campur dalam perang saudara tersebut. Belanda memihak Sultan Haji, yang akhirnya perang saudara tersebut dimenangkan oleh Sultan Haji. Dengan kemenangan Sultan Haji, maka Sultan Ageng Tirtayasa ditawan dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya tahun 1692. Dampak dari bantuan VOC terhadap Sultan Haji maka Banten harus membayar mahal, di mana Sultan Haji harus menandatangani perjanjian dengan VOC tahun 1684. Perjanjian tersebut sangat memberatkan dan merugikan kerajaan Banten, sehingga Banten kehilangan atas kendali perdagangan bebasnya, karena Belanda sudah memonopoli perdagangan di Banten. Akibat terberatnya adalah kehancuran dari kerajaan Banten itu sendiri karena VOC/Belanda mengatur dan mengendalikan kekuasaan raja Banten. Raja-raja Banten sejak saat itu berfungsi sebagai boneka.

Kehidupan Ekonomi
    Kerajaan Banten yang letaknya di ujung barat Pulau Jawa dan di tepi Selat Sunda merupakan daerah yang strategis karena merupakan jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan khususnya setelah Malaka jatuh tahun 1511, menjadikan Banten sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai bangsa. Pelabuhan Banten juga cukup aman, sebab terletak di sebuah teluk yang terlindungi oleh Pulau Panjang, dan di samping itu Banten juga merupakan daerah penghasil bahan ekspor seperti lada.



     Selain perdagangan kerajaan Banten juga meningkatkan kegiatan pertanian, dengan memperluas areal sawah dan ladang serta membangun bendungan dan irigasi. Kemudian membangun terusan untuk memperlancar arus pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan. Dengan demikian kehidupan ekonomi kerajaan Banten terus berkembang baik yang berada di pesisir maupun di pedalaman.

Kehidupan Sosial Budaya
   Kehidupan masyarakat Banten yang berkecimpung dalam dunia pelayaran, perdagangan dan pertanian mengakibatkan masyarakat Banten berjiwa bebas, bersifat terbuka karena bergaul dengan pedagang-pedagang lain dari berbagai bangsa. Para pedagang lain tersebut banyak yang menetap dan mendirikan perkampungan di Banten, seperti perkampungan Keling, perkampungan Pekoyan (Arab), perkampungan Pecinan (Cina) dan sebagainya.
      Di samping perkampungan seperti tersebut di atas, ada perkampungan yang dibentuk berdasarkan pekerjaan seperti Kampung Pande (para pandai besi), Kampung Panjunan (pembuat pecah belah) dan kampung Kauman (para ulama).
     Dalam bidang kebudayaan: kerajaan Banten pernah tinggal seorang Syeikh yang bernama Syeikh Yusuf Makassar (1627-1699), ia sahabat dari Sultan Agung Tirtayasa, juga Kadhi di Kerajaan Banten yang menulis 23 buku. Selain itu di Banten pada akhir masa kesultanan lahir seorang ulama besar yaitu Muhammad Nawawi Al-bantani pernah menjadi Imam besar di Masjidil Haram. Ia wafat dan dimakamkan di Makkah, sedikitnya ia telah menulis 99 kitab dalam bidang Tafsir, Hadits, Sejarah, Hukum, tauhid dan lain-lain. Melihat kajiannya yang beragam menunjukkan ia seorang yang luas wawasannya. Salah satu contoh wujud akulturasi tampak pada bangunan Masjid Agung Banten, yang memperlihatkan wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia, Hindu, Islam di Eropa.