Sejarah singkat Banten Menjelang Abad XVI-XVII-XVIII-XVII-XIX


Banten Menjelang Abad XVI

Berita atau sumber-sumber sejarah tentang masa sebelum abad XVI sangat sedikit dapat ditemukan.  Setidak-tidaknya pada abad XV – XVI Banten sudah menjadi pelabuhan kerajaan Sunda.  Menurut Ten Dam di daerah sekitar ibukota kerajaan Sunda yakni Pajajaran, yang lokasinya sekitar Bogor sekarang, sudah ada dua jalur jalan darat penting yang menghubungkan daerah pantai utara dengan ibukota.

Sungai-sungai yang mengalir dari pedalaman ke Utara Jawa juga telah dimanfaatkan sebagai jalur hubungan daerah pedalaman dan daerah pantai.  Salah satu di antara dua jalur darat itu alah, jalan dari ibukota Pajajaran menuju Jasingga kemudian membelok ke Utara Rangkasbitung dan berakhirnya di Banten Girang.

Banten Girang terletak kira-kira 3 km di sebelah Utara kota Serang sekarang atau sekitar 13 km dari Banten Lama.  Dengan adanya nama Banten Girang (Girang = Hulu) timbul pikiran tentang kemungkinan adanya nama Banten Hilir (Hilir = Muara).  Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah ada suatu kota bernamna Banten Hilir ? Dan jika itu ada apakah sama dengan Banten Lama sekarang ?

Pada waktu Tome Pires mengunjungi Banten tahun 1513, Banten merupakan pelabuhan yang belum begitu berarti tetapi sudah disebutkan sebagai pelabuhan kedua dari kerajaan Sunda  yang terbesar sesudah Sunda Kelapa.  Hubungan dagang telah banyak antar Banten dengan Sumatra dan banyak perahu yang berlabuh di Banten. Pengekspor  beras, bahan makanan dan lada.  Sedangkan sekitar tahun 1522 Banten sudah merupakan pelabuhan yang cukup berarti, dimana kerajaan Sunda melalui pelabuhan Banten dan Sunda Kelapa sudah mengekspor 1.000 bahar lada per tahun.

Banten Abad XVI
Ketika kerajaan yang bercorak Islam berdiri, pusat kekuasaan di wilayah ini yang semula berkudukan di Banten Girang dipindahkan ke Kota Surosowan di Banten Lama dekat pantai.  Dari sudut politik dan ekonomi, pemindahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan pesisir Utara Jawa dengan pesisir Sumatra melalui Selat Sunda dan Samudera Indonesia.  Situasi ini berkaitan dengan kondisi politik di Asia Tenggara masa itu, dimana Malaka sudah jatuh di bawah kekuasaan Portugis sehingga pedagang-pedagang yang segan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur dagangannya melalui selat Sunda.

Berdirinya kota Surosowan sebagai ibukota kerajaan Banten adalah atas petunjuk dan perintah Sunan Gunung Jati pada puteranya Hasanuddin yang kemudian menjadi raja Banten pertama.  Kedatangan penguasa Islam ke daerah Banten terjadi kira-kira 1524 – 1525, pada saat mana daerah Banten masih ada dalam kekuasaan kerajaan Sunda.  Berdasarkan tradisi setempat yang menjadi penguasa kerajaan Sunda terakhir di daerah Wahanten Girang  (Banten Girang) adalah Prabu Pucuk Umun, putera Prabu Seda. Sunan Gunung Jati atau Syeh Syarief Hidayatullah yang menjadi penguasa Islam pertama di Banten tidak mentasbihkan diri menjadi raja pertama tetapi menyerahkan kekuasaan Banten kepada puteranya Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1526 menikah dengan putera Sultan Trenggana dinobatkan menjadi raja Banten pada tahun 1552.

Selain membuata keraton Surosowan, Hasanuddin juga telah membangun dua mesjid di sekitar Banten Lama sekarang.  Mesjid yang pertama ialah mesjid yang terletak di kampung Pecinan dan yang kedua ialah Mesjid Agung kerajaan yang terletak disebelah barat alun-alun.
Hasanuddin digantikan oleh Maulana Yusuf sebagai raja Banten yang kedua (1570 – 1580).  Ia telah memperluas wilayah kekuasaan Banten  sampai jauh  ke pedalaman  yang semula masih dikuasai kerajaan Sunda Pajajaran dan berhasil menduduki ibukota kerajaan Pakuan.  Berdasarakan tradisi, Maulana Yusuf telah memperluas bangunan Mesjid Agung dengan membuata serambi dan juga telah membangun mesjid lain di Kasunyatan (selatan Banten Lama).  Waktu Maulana Yusuf wafat yang berhak naik tahta ialah Pangeran Muhamad.  Karena waktu itu Pangeran Muhamad masih kecil maka yang bertindak sebagai wali raja ialah Pangeran Aria Japara.  Salah satu episode penting dalam masa pemerintahan Pangeran Muhamad ialah kedatangan kapal-kapal Belanda pada tahun 1596   yang berlabuh di pelabuhan Banten dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Dari merekalah didapat catatan-catatan tertulis yang sangat berharga tentang Banten.

Banten Abad XVII - XVIII
Salah satu dari kondisi sosial politik dan sosial ekonomi  terutama sejak pertengahan abad XVII kerajaan Banten mulai dimasuki pengaruh Belanda.  Pada abad XVII kerajaan banten mengalami kemajuan perdagangan dan kebudayaan.  Raja-raja atau sultan-sultan yang memerintah dalam abad ini di Banten  adalah sebagai berikut :

1. Abdul Mufakir Makmud Abdul Kadir           1596 – 1640
2. Abdul Maali Akhmad                                    1651 – 1672
3. Abdul Fathi Abdul Fatah                               1651 -  1672
4. Abdul Nas’r Abdul Kohar                             1672 -  1687
5. Abdul Fadhal                                                 1687 -  1690
6. Abdul Mahasin Zainul Abidin                       1690 -  1733
Tentang nama-nama sultan yang memerintah pada abad XVII hampir tidak ada perbedaan interpretasi di antara beberapa penulis.  Tetapi mengenai masa pemerintahannya terdapat bermacam-macam tafsiran seperti misalnya yang dikemukakan oleh Valentijn.

Catatan mengenai kota Banten pada abad XVII dapat diperoleh dari berbagai sumber.  Diantara sumber tersebut menceritakan bahwa pada tahun 1664 Banten sudah dikelilingi oleh tembok kuat dan bermeriam.  Menurut sumber lainnya bahwa temboknya terbuat dari bata.  Keraton Surosowan yang tadinya tidak berbenteng, pada masa pemerintahan Sultan Abu Nas’r Abdul Kohar diberi benteng keliling.  Hal ini terbukti dari catatan Schouten yang belum menyebutkan adanya benteng keraton.  Berdasarkan catatan Belanda benteng ini dibuat oleh Hendrik Lucaszoon Cardeel menurut Valentijn.  Ia juga telah membngun sebuah menara yang dibuat di halaman depan Mesjid Agung Banten dan bangunan Tiyamah yang didirikan di sisi selatan serambi Mesjid Agung.

Kepurbakalaan
Di Banten Lama dan sekitarnya kini masih terdapat beberapa peninggalan kepurbakalaan yang berasal dari zaman kerajaan Islam Banten (abad XVI – XVIII)

Peninggalan tersebut ada yang masih utuh namun banyak yang tinggal reruntuhannya saja bahkan tidak sedikit yang berupa fragmen-fragmen kecil. Peninggalan berupa artefak –artefak kecil yang dikumpulkan dalam penelitian dan penggalian kepurbakalaan kini telah disimpan di Museum Situs Kepurbakalaan yang terletak di halaman depan bekas Keraton Surosowan.
Peninggalan kepurbakalaan tersebut adalah :

1.Komplek Keraton Surosowan
2.Komplek Mesjid Agung
3.Meriam Ki Amuk
4.Mesjid Pacinan Tinggi
5.Komplek Keraton Kaibon
6.Mesjid Koja
7.Kerkhof
8.Benteng Spelwijk
9.Klenteng Cina
10.Watu Gilang
11.Makam Kerabat Sultan
12.Mesjid Agung Kenari
13.Benda-benda purbakala di Museum Banten

Banten abad XVII-XIX
Pada abad XVIII rakyat Banten sangat prihatin dan tidak setuju dengan cara yang diterapkan Belanda di Kesultanan Banten. Muncullah perjuangan para tokoh-tokoh Banten, mereka sebagai grilyawan yang bermarkas di hutan-hutan selatan, selalu siap menghadapi tentara Belanda yang menuju Batavia yang mengangkat rempah-rempah dan barang-barang perdagangan lainnya dari banten. Pada babad Bantenpun tersebut bahwa Selat Sunda setiap saat  waspada dan disiapkan para bajak negara yang sering disebut Bojonegoro, untuk memusnahkan kapal-kapal kompeni Belanda.

Dari sultan ke sultan, sejak pergantian Sultan Haji oleh Sultan Abdul Fadhal pada tahun 1687 dan dilanjutkan oleh sultan berikutnya pada tahun 1690, yaitu sultan Abul Mahasin Zainul Abidimn, kesultanan Banten tidak banyak mengalami kemajuan apa-apa kecuali saat banten dipegang oleh Sultan Fathi Muhammad Syafa Zainul Arifin pada tahun 1733, banyak terjadi pemberontakan–pemberontakan. Hal itu disebabkan karena adanya tekanan-tekanan Kompeni Belanda yang dirasakan oleh rakyat Banten, seperti kerja rodi dan lain sebagainya.

Pada tahun 1740-1753, Sultan Syarifuddin baru memerintah menggantikan Sultan Fathi terjadi banyak pemberontakan, antara lain adanya perlawanan rakyat dibawah pimpinan Ki tapa, seorang alim yang selesai bertapa di Gunung Muara. Rakyat menyaksikan bagaimana penguasa-penguasa keraton dikuasai Belanda. Mereka hanya menjadi alat penjajah untuk memeras rakyat. Terlebih lagi ketika Sultan Fathi Muhamad Siffa Zainul Arifin ditangkap dan di buang ke Ambon atas hasutan Syarifah Fatimah pada tahun 1735. Setelah itu syarifah Fatimah diakui sebagai wakil Sultan, dengan memakai gelar Ratu. Hal ini merupakan ssuatu penghinaan dan penghianatan terhadap penguasa Banten.

Para pengikut dan pecinta Sultan Ageng mendapat kesempatan bersama-sama rakyat Banten lainnya untuk melawan Belanda.

Nama Raja/Sultan yang memerintah di Banten      Tahun Pemerintahan

Syarief Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati            1525
Maulana Hasanuddin Panembahan Surosoan             1552
Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan                   1570
Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten             1580
Sultan Abulmafachir Mahmud                                   1596
Sultan Abul Ma’ali Ahmad Kenari                            1640
Sultan Agung Tirtayasa Abulfathi Abdul Fatah         1651
Sultan Haji Abunhasri Abdul Kahhar                        1672
Sultan Abul Fadhal                                                     1687
Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin                          1690
Sultan Muh. Syifai Zainul Arifin                               1733
Sultan Syarifuddin ratu wakil                                    1750
Sultan Muh. Wasi’ Zainul Alimin                              1752
Sultan Muh. Arif Zainul Asyikin                               1753
Sultan Abul Mafakih muh. Aliyudin                         1773
Sultan Muhyiddin Zainussolihin                               1799
Sultan Muh. Ishak Zainul Muttakin                          1801
Sultan Wakil Pangeran Natawijaya                           1803
Sultan Agiluddin (Aliyuddin II)                                1803
Sultan Wakil Pangeran Suara Manggal                     1808
Sultan Muhammad Shafiyuddin                                1809
Sultan Muhammad Rafi’uddin                                  1813



Tahun-tahun bersejarah beberapa pemberontakan di Banten sebagai perlawanan rakyat kepada penjajah Belanda. 
Pada tahun 1808
Rakyat menentang Marsekal Deandels dalam pembuatan pelabuhan di Ujung Kulon. Pemberontakan di Pasir Peteuy, Pandeglang di bawah pimpinan Mas Nuriman.

Pada tahun 1809
Ketika Pemerintah Hindia Belanda Memerintahkan untuk membuat Anyer-Panarukan terjadi pemaksaan dan kekerasan sehingga mengakibatkan pemberontakan:
1.     Pemberontakan Banten Selatan
2.     Pemberontakan Anyer
3.     Penyerbuan di Cikande
Pemberontakan di Leuweung Lancar, di bawah pimpinan Mas Angabay Naya Wipraja dan Angabay Jaya Sedana sebagai dendam atas serbuan Deandels ke Banten serta musnahnya Keraton. Juga diakibatkan karena dikuasainya Banten dan Lampung sebagai jajahan Belanda.   Tangerang, Jasinga dan Sadeng dirampas untuk kemudian dimasukkan ke Batavia dan sebagai batasnya adalah Cidurian dan Bogor.

Pada tahun 1813     
Terjadi pemberontakan Undar-andir di bawah pimpinan Mas Ngabai Lonang dan Mas Djakaria, yang terkenal dengan pemberontakan Undar-andir I.

Pada tahun 1815      
Dikenal dengan pemberontakan Mas Djuring dan Mas Sampiuh di Pandeglang.  Saat itu keraton di Ciekek dengan sultannya bernama Achmad.

Pada tahun 1817       
Terjadi pemberontakan Undar-andir II di bawah pimpinan seorang yang bernama Bidin dan Agus Kamis.

Pada tahun 1830
Terjadi Pemberontakan Nyimas Gamparan bersama saudara-saudaranya , peperangan terjadi di Cikande, Rangkasbitung, waringin Kurung, Pandeglang sampai ke Tarogong. Serangan rakyat terhadap tanam paksa yang lebih di kenal dengan istilah Belanda Kultur Stelsel. Penyerbuan terjadi di sekitar lereng Gunung Karang.

Pada tahun 1845    
Terjadi Perang Cikande II di bawah pimpinan mas sarean, dibantu oleh seorang wanita yang bernama Nyi Tinah beserta 34 orang pengikut yang semuanya wanita, Belanda kewalahan menghadapi serangan tersebut, namun mereka akhirnya semua dihukum gantung.

Pada tahun 1858      
Dilanjutkan dengan pemberontakan Culang Batu ke II, dimana dalam pertempuran tersebut ada seorang letnan Belanda yang mati terbunuh.

Pada tahun 1886       
Terkenal dengan terjadinya Pemberontakan di cilegon, di bawah pimpinan H. Wasyid dan puncak perlawanan itu disebut Geger Cilegon 1888 yang didukung oleh para ulama dan jawara Banten.

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( KESENIAN DAN KEBUDAYAAN )


Kesusastraan

Beberapa karya sastra yang dihasilkan oleh kebudayaan Islam pada masa Kesultanan Banten, antara lain.

1. Sajarah Banten Rante-Rante, merupakan karya sastra sekaligus sumber sejarah Banten yang menggunakan bahasa Jawa Banten.

2. Hikayat Hasanoeddin, merupakan karya sastra prosa sekaligus sumber sejarah Banten yang menggunakan bahasa Melayu kuno.

3. Babad Banten, merupakan karya sastra yang ditulis pada pertengahan abad ke-17 M. Otentisitasnya ditulis menggunakan huruf Arab dan bahasa Jawa Banten yang berbentuk karangan puisi. Baris satu, bagian pertama Babad yang berisi tentang legenda dan mitos (berisi tentang cerita pertalian dengan tiga kerajaan Hindu di Pulau Jawa yakni Medang Kamulan, Pajajaran, dan Majapahit yang dikaitkan dengan proses Islamisasi di Jawa). Baris dua, bagian kedua lebih bersifat historis (berisi cerita mengenai perkembangan Kesultanan Banten sejak berdiri hingga terjadi peperangan antara Banten dengan kolonialis Belanda yang menduduki Batavia). (Jakarta.go.id, 2010)


Arsitektur
Beberapa peninggalan budaya material Arsitektural pada masa Kesultanan Banten adalah,

1. Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten terletak di sisi barat alun-alun. Masjid ini dibangun oleh Maulana Yusuf, sehingga termasuk sebagai masjid tua di tanah Jawa. Bentuknya mengikuti tradisi masjid Jawa, denah bujur sangkar, tanah yang ditinggikan, kolam air di depan. Memiliki konstruksi empat tiang utama (soko guru) yang menyangga atap berbentuk limas bersusun. Di serambi masjid ini (utara dan selatan) terdapat banyak makam sultan-sultan Banten.

Pada umumnya masjid yang ada di Banten memiliki atap trapesium. Kemudian di atasnya memiliki atap yang bertingkat susun lima. Kemungkinan atap bersusun lima ini dipengaruhi oleh arsitektur Tiongkok. Selain itu di timur bangunan utama terdapat bangunan tiyamah yang atapnya terpisah dari bangunan utama. Kemudian pada umpak-umpak tiang memiliki kekhasan khusus yaitu memiliki umpak berbentuk labu yang mirip dengan umpak di masjid Ampel Denta Surabaya. Adanya ragam hias yang bercorak Hindu-Buddha pada komponen Masjid Agung Banten berupa umpak tiang-tiang masjid yang menampilkan penggunaan motif Padma (lotus) menunjukkan kemiripan corak Hindu-Buddha seperti corak yang dimiliki oleh Kerajaan Singhasari.

Arsitektur lainnya setelah pemerintahan Maulana Hasanuddin yaitu Maulana Yusuf juga melakukan pemugaran terhadap Masjid agung Banten dengan dibangunnya menara masjid. Menara masjid Agung Banten ini banyak memiliki interpretasi dalam bentuk bangunannya. Menara ini di bangun oleh seorang musafir Belanda yaitu Hendrik Lucas Cardel dengan tinggi menara 23 Meter. Menara tersebut dapat diinterpretasikan sebagai mercusuar yang bentuknya meninggi dan dekat dengan wilayah pesisir. Dimungkinkan selain untuk kegiatan keagamaan menara tersebut dapat dijadikan sebagai tempat pengawasan kapal-kapal. Kemudian secara jelas tubuh dari bangunan menara seperti bangunan candi jabung yang memiliki pengaruh Hindu Budha. Sehingga pembangunan masjid ini banyak bercampur dengan kebudayaan lain.


2. Benteng Spelwijk
Bebatuan bewarna merah sisa Benteng Speelwijk di Kampung Pamarican, Serang, Banten, menjadi puing yang tersisa dari bangunan megah abad ke 17 ini. Terbuat dari campuran batu, pasir, dan kapur, Benteng Speelwijk dibangun untuk mengantisipasi serangan rakyat Banten khususnya pengikut Sultan Agung Tirtayasa. Ketakutan ini beralasan karena saat itu Banten Lama masih menjadi kota pelabuhan besar dan diperebutkan oleh Belanda dan masyarakat Banten.

Pada masa jayanya, Benteng Speelwijk yang memiliki ketinggian 3 meter ini dibangun oleh Hendrick Loocaszoon Cardeel pada tahun 1681-1684 yaitu pada masa Sultan Abu Nashar Abdul Qahar. Sedangkan nama Speelwijk digunakan untuk menghormati Gurbenur Hindia Belanda yang saat itu masih berkuasa yaitu Cornelis Janszoon Speelman. Bagian tepi Benteng Speelwijk dikelilingi parit dengan luas mencapai 10 meter. Sedangkan bentuk bangunan menyerupai segi empat dengan tiap sisinya dibangun ruang inti atau menara pengintai. Ruang intip yang masih tersisa dan dinaiki adalah di bagian utara. Dari ruangan ini terlihat lautan dan Banten Lama dari atas.

Walaupun kondisinya saat ini telah datar dan hanya sedikit sisa reruntuhan yang dapat dilihat, namun Benteng Speelwijk masih menyisakan ruang bawah tanah atau bungker yang dihubungkan dengan lorong di bagian barat. Konon, Benteng Speelwijk tidak menggunakan tenaga pribumi untuk pembangunannya. Namun masyarakat Tionghoa dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah untuk membangun Benteng Speelwijk. Di kawasan Benteng Speelwijk sebenarnya ada kubur Belanda. Di sana terdapat kubur komandan militer Hugo Pieter Faure (1717-1763), kubur Kopman en Fiscaal Deserbezeting (pegawai pajak dan pembelian), Jacob Wits yang meninggal 9 Maret 1769, serta kubur Catharina Maria van Doorn (www.indonesiakaya.com, diakses 24 April 2015)


3. Vihara Avalokitesyara
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten dan sekitar abad ke-16 atau pada tahun 1652 didirikan Wihara yang diberi nama Wihara Avalokiteswara atau di sebut juga Wihara Dewi Kwan Im, yang merupakan vihara tertua di Banten.

Gerbang dengan atap berhiaskan dua naga memperebutkan mustika sang penerang (matahari) menyambut pengunjung di pintu masuk sebelum pengunjung masuk lebih ke dalam vihara yang memiliki nama lain kelentang Tri Darma ini. Sebutan Klenteng Tri Darma diberikan karena vihara ini melayani tiga kepercayaan umat sekaligus. Yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddha. Walaupun diperuntukan bagi 3 umat kepercayaan namun bagi wisatawan yang beragama lain sangat diperbolehkan untuk berkunjung dan melihat bangunan yang saat ini termasuk dalam cagar budaya di Provinsi Banten ini.

Vihara Avalokitesvara memiliki luas mencapai 10 hektar dengan altar Dewi kwan Im sebagai Altar utamanya. Di altar ini terdapat patung Dewi Kwan Im yang berusia hampir sama dengan bangunan vihara tersebut. Selain itu di sisi samping kanan dan kiri terdapat patung dewa-dewa yang berjumlah 16 dan tiang batu yang berukir naga.

Berdirinya wihara ini yaitu pada saat kesultanan Banten di kunjungi oleh rombongan putri dari Tingkok bernama Ong Tien Nio. Semula rombongan putri ingin menuju Surabaya untuk menyebakan agama leluhurnya yaitu agama Budha, akan tetapi sesampainya di Banten rombongan ini kehabisan perbekalan yang membuat mereka melabuhkan kapalnya di Kali Kemiri.

Dahulunya pada tahun 1481 Sultan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati menikah dengan Putri Ong Tien, putri dari Tiongkok. Pada saat itu putri datang ke Pulau Jawa beserta rombongannya. Perpindahan keyakinan putri Ong Tien memeluk agama Islam itu tidak diikuti seluruh rombongan. Sebagian dari mereka tetap memeluk agama leluhurnya, yakni agama Budha. Karena itu Syarif Hidayatullah mengambil keputusan untuk membangun Masjid Pacinan Tinggi untuk umat Islam, sedangkan pemeluk agama Budha dibuatkan Wihara yang diberi nama Wihara Avalokitesvara.
Sekaligus menandakan kawasan Banten pernah menjadi kawasan yang multietnis. Kini masa lalu kesultanan Banten tersebut hanya menyisakan bukti-buktinya. Bukti peninggalan tersebut merupakan saksi bisu kejayaan masyarakat dan budaya Banten di masa lalu yang pernah menjadi pusat perdagangan Asia, antara lain berupa bekas kompleks Keraton Surosowan yang dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Mesjid Agung Banten, Wihara Avalokitesvara, Kompleks Makam Raja-raja Banten dan keluarganya, Kompleks Keraton Kaibon, dan lain lain. Berdasarkan sejarahnya kawasan ini yang sempat menjadi pusat perdagangan Internasional yang terdiri dari Tumasik, Melaka dan Banten dengan jalur lautnya. Sehingga kawasan ini merupakan kawasan yang besar dan bersekala Internasional.


4. Komplek Keraton Surosowan
Kompleks keraton ini sekarang sudah hancur, yang masih nampak adalah tembok benteng yang mengelilingi dengan sisa-sisa bangunannya. Sisa-sisa bangunan ini berupa pondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur, termasuk sisa-sisa bangunan Balekambang. Tembok benteng masih tampak berdiri dengan ketinggian antara 0,5 meter hingga 2 meter, dengan lebar sekitar 5 meter. Pada beberapa bagian, terutama di bagian sebelah selatan dan timur, tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur.


Keraton Surosowan dibangun atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah, yakni dengan mengikuti pola tradisional keraton Jawa yang terdiri dari keraton dengan kelengkapan alun-alun di sisi utaranya, kemudian masjid di sisi barat alun-alun dan pasar di dekatnya ((Wirjomartono, 2009:287). Kompleks Keraton Surosowan ini berbentuk segi empat dengan luas kurang lebih 3 hektar yang dikelilingi oleh dinding benteng tinggi dan tebal. Pintu utama masuk ke Keraton Surosowan terletak di sebelah utara, menghadap ke alun-alun.

Berdasarkan sejarah Banten, Keraton Surosowan yang disebut juga Gedung Kedaton Pakuan, dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sedangkan tembok benteng dan gerbangnya yang terbuat dari bata dan batu karang dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf (1570-1580). Salah satu bagian di dalam keraton yang menarik perhatian adalan Pancuran Mas. Pancuran yang sebenarnya terbuat dari tembaga dan bukan emas itu dahulu biasa digunakan untuk mandi para pejabat dan juga abdi kerajaan. Begitu terkenalnya nama Pancuran Mas sehingga orang-orang yakin bahwa pancuran itu memang terbuat dari emas.


Keraton Surosowan telah tiga kali dibangun akibat hancur karena perang. Terakhir, keraton dihancurkan oleh Daendels pada tahun 1808. Banten Lama atau Surosowan adalah situs yang berkelanjutan. Di sana ada peradaban pra-sejarah dan berlanjut ke zaman klasik (Hindu-Budha), lalu beralih ke kebudayaan Islam pada abad ke-16.


5. Mesjid Pacinan Tinggi
Lokasinya terletak di Kampung Pacinan Desa Banten Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang. Masjid ini terletak sekitar 500 m ke arah barat keraton Surosowan. Bangunan Masjid ini disebut Pacinan karena dahulunya banyak orang Cina yang berdagang dan berdiam disana. mereka datang dan menetap di Banten sejak saat Sultan Hasanudin memerintah.


Menurut sejarahnya masjid ini merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah kemudian dilanjutkan oleh Sultan Hasanuddin kemudian masjid ini dipugar pada tahun 1980-1982. Bangunan masjid ini terbuat dari bahan yang sederhana dari bata, batu karang sedangkan atapnya terbuat dari kayu Cendana. tetapi sekarang bangunan ini tinggal tiang dan pondasi induk yang terbuat dari bata dan batu karang, serta mihrabnya saja. Di depan halaman kiri masjid terdapat sisa bangunan menara lama. Menara ini terbuat dari bata dan fondasi dari terbuat dari batu karang

6. Masjid Koja
Masjid ini berlokasi di Kampung Banten, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang. Terletak di sebelah selatan kanan jalan yang menghubungkan benteng Speelwijk dengan Karangantu. Bangunan Masjid ini tinggal reruntuhan saja. Di namakan Masjid Koja karena dahulu di sekitar Masjid merupakan tempat tinggal orang-orang Koja.

7. Makam Kerabat Sultan
 Kompleks makam terdiri dari makam raja-raja atau sultan-sultan yang pernah menduduki jabatan tinggi di Kesultanan Banten, juga makam dari sanak kerabat yang masih memiliki hubungan darah dengan sultan Banten. Kompleks makam ini terletak di dalam Masjid Agung Banten. Sebab masjid selalu dipandang sebagai tempat yang khusus karena di situlah ibadah dilaksanakan. Di masjid inilah “taharah” atau keadaan suci selalu dipenuhi sepanjang waktu. Karena kematian dipandang sebagai sebuah perjalanan yang suci, maka masjidlah tempat yang paling sesuai untuk itu. Secara umum, masjid yang paling sering dimanfaatkan untuk makam adalah masjid raya atau masjid agung setempat (Wirjomartono, 2009:269),
Seperti halnya penggunaan bangunan Masjid Agung Banten untuk kompleks makan sultan. Di kedua sisi masjid agung Banten, terdapat serambi sebelah utara dan selatan yang difungsikan sebagai makam dari Sultan dan para kerabatnya. Di serambi utara terdapat makam Maulana Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Haji. Sedangkan, di serambi sebelah Selatan terdapat makam Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin. Selain itu pula, penggunaan masjid lain juga dilibatkan, seperti makam raja kedua Maulana Yusuf yang terletak di masjid desa Kasunyatan.


8. Komplek Keraton Kaibon
Kompleks keraton ini terletak di Kampung Kroya, sekitar 500 meter sebelah tenggara Keraton Surosowan, dan berada di sisi jalur Jalan Serang – Banten Lama. Di sisi selatan kompleks bangunan ini mengalir sungai Cibanten. Keraton Kaibon merupakan bekas kediaman Sultan Syafiuddin, seorang sultan Banten yang memerintah sekitar tahun 1809 – 1815. Kaibon berasal dari kata ka-ibu-an, yaitu tempat tinggal yang diperuntukkan bagi ibunda Sultan. Ketika Sultan Syafiuddin wafat, beliau digantikan oleh putranya yang baru berusia 5 bulan. Untuk sementara waktu, pemerintahan dipegang oleh ibunya, yakni Ratu Aisyah. Keraton ini masih digunakan hingga masa pemerintahan Bupati Banten yang pertama yang mendapat dukungan Belanda, yakni Aria Adi Santika. Bupati tersebut menggantikan pemerintahan Kesultanan Banten yang dihapuskan sejak tahun 1816.


Dilihat dari bentuk pintu gerbangnya, Keraton Kaibon menunjukkan ciri keraton yang bergaya tradisional. Hal ini diperlihatkan oleh susunan pintu gerbang dan halamannya. Keraton ini memiliki empat pintu gerbang. Pintu gerbang pertama yang merupakan jalan masuk berbentuk bentar, yang menunjukkan bahwa halaman tersebut bersifat profan. Pada halaman kedua, pintu gerbang berbentuk paduraksa, yang berasosiasi dengan sifat sakral. Di dalam Keraton Kaibon terdapat bangunan masjid, yang diposisikan sebagai bagian utama keraton. Pada tahun 1832, bangunan Keraton Kaibon dihancurkan oleh Belanda, dan sekarang hanya tersisa bagian fondasi, runtuhan dinding dan sisi kiri dari bagian pintu masuknya.


Kesenian

Kesenian yang paling terkenal dari Banten adalah Tari Debus. Kesenian debus merupakan sebuah kesenian yang diciptakan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Debus merupakan bentuk permainan yang diciptakan untuk menguji ketabahan dan keimanan prajurit Banten (Sutjiatiningsih:1995). Dalam permainan banyak menggunakan alat-alat yang tajam seperti golok, pisau, pedang, keris, tombak, bambu runcing. Alat ini sesuai dengan masa prajurit Banten terdahulu dalam menggunakan senjatanya. Senjata tersebut di hujamkan kepada para peserta dengan niat yang tabah dan percaya kepada tuhan Yang Maha Esa bahwa di akan terlindungi maka tubuhnya tidak akan terluka sedikitpun dengan kata lain kebal dengan senjata tajam. Debus dapat digunakan sebagai syiar agama Islam, karena masyarakat Banten yang umumnya fanatik agama sehingga kesenian dapat disusupi unsur keagamaan yang berguna. Seiring perkembangannya debus diiringi dengan Rebana Kasidah, mawalah dan lainnya sebagi pengiring atraksi tersebut. 


Banten: Abad XVI-XIX M

RANGKUMAN
1. Kesultanan Banten merupakan sebuah kesultanan yang berada di pesisir barat pulau Jawa yang ditaklukkan oleh Kesultanan Demak dan Cirebon atas Kerajaan Sunda Padjajaran.
2. Pada mulanya Banten dijadikan sebuah kadipaten di bawah naungan kekuasaan Kerajaan Demak sejak tahun 1525. Kemudian, didirikan sebuah kerajaan yang mandiri pada tahun 1552.
3. Raja pertama yang memerintah Kerajaan Banten adalah Maulana Hasanuddin (putra dari Syarif Hidayatullah), dan mencapai masa keemasan ketika berada di tangan Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Pengahapusan Kesultanan Banten dilakukan oleh pihak Inggris, setelah mendapatkan penyerangan bertubi-tubi oleh Belanda.
5. Ekonomi utama Kesultanan Banten ditopang oleh kegiatan perdagangan komiditi lada.
6. Sistem perekonomian yang dilakukan oleh Kesultanan Banten adalah sistem ekonomi Monopoli yang berjenis Oligopoli dan Monopsoni.
7. Saluran Islamisasi yang dilakukan di kesultanan Banten adalah media pernikahan, ekspansi (penaklukkan wilayah), perdagangan, kesenian, dan pendidikan.
8. Aliran agama Islam yang berkembang di kesultanan Banten adalah aliran Sunni dengan Madzhab Syafii.
9. Sistem Sosial masyarakat menunjukkan sistem sosial yang terstratifikasi pembedaan kelompok dalam beberapa kategori.
10. Bentuk peninggalan kesenian yang masih bisa ditemukan berupa seni sastra, arsitektur dan kesenian tari.
11. Seni sastra dirupakan dalam Sajarah Banten Rante-Rante, Hikayat Hasanoeddin, dan Babad Banten.
12. Seni arstitektural yang masih dapat ditemukan yakni berupa Masjid Agung Banten, Benteng Speelwijk, Vihara Avalokitesyara, Rerntuhan Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Kompleks makam Sultan dan kerabat Sultan, Masjid Koja, Masjid Pacinan Tinggi
13. Kesenian tari yang terkenal dari Banten adalah seni tari debus.


DAFTAR RUJUKAN

Banten: Abad XVI-XIX M

Abimanyu, Soetjipto. 2014. Kitab Sejarah Terlengkap Kearifan Raja-Raja Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Laksana.

Boedhihartono, dkk. (Ed). 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Daliman, A. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

De Graaf & Th. G. Th. Pigeaud. 1989. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke- 15 dan ke- 16. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Guillot, Claude. 1990. The Sultanate of Banten. Jakarta: Gramedia Book Publishing Division.

____________. 2008. Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Lubis, Nina H. 2003. Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES

Munandar, Agus Aris dkk. (Ed). 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah. Jakarta: Rajawali Press.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sutjiatiningsih, Sri. 1997. Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tjandrasasmita, Uka. 1995. “Banten sebagai Pusat Kekuasaan dan Niaga Antarbangsa”, dalam Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Untoro, Heriyanti Ongkodharma. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan Banten 1522-1684 M (Kajian Arkeologi-Ekonomi). Jakarta: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya (FIB) UI.

Wirjomartono, Bagoes dkk. (Ed). 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur. Jakarta: Rajawali Press.

Saputra, Rizqy D. 2015. Sejarah Kerajaan Banten Secara Kronologis Beserta Bentuk Birokrasinya, Makalah dari matakuliah Sejarah Indonesia Madya.

Utami, Dinar. 2015. Keagamaan dan Seni Kerajaan Banten, Makalah dari matakuliah Sejarah Indonesia Madya.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Administratif, Luas Wilayah, dan Letak Geografis Banten, (Online), (www.bpkp.go.id/dki2/konten/1092/GEOGRAFIS), diakses 22 April 2015.

Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta. 2010. Banten, Babad, (Online), (http://jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/66/Banten-Babad), diakses 24 April 2015.

Republika. Tanpa tahun. Melacak Jejak Kesultanan Banten, (Online), (http://kabartangsel.com/wp-content/uploads/wp-post-to-pdf-cache/1/melacak-jejak-kesultanan-banten.pdf), diakses 22 April 2015.

Indonesiakaya.com. Tanpa tahun. Berkunjung ke Cagar Budaya Vihara Avalokitesvara yang Tertua di Banten, (Online), (http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/berkunjung-ke-cagar-budaya-vihara-avalokitesvara-yang-tertua-di-banten), diakses 24 April 2015.

_________. Tanpa tahun. Benteng Speelwijk: Benteng Penghormatan Untuk Jendral Hindia Belanda, (Online), (http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/benteng-speelwijk-benteng-penghormatan-untuk-jendral-hindia-belanda), diakses 24 April 2015.

Dinas Budaya dan Pariwisata. Tanpa tahun. Masjid Pacinan Tinggi, (Online), (http://disbudpar.bantenprov.go.id/place/masjid-pacinan-tinggi), diakses 24 April 2015.

____________. Tanpa tahun. Masjid Koja, (Online), (http://disbudpar.bantenprov.go.id/place/masjid-koja), diakses 24 April 2015.

Aroengbinang. Tanpa tahun. Benteng Speelwijk Serang, (Online), (http://www.thearoengbinangproject.com/benteng-speelwijk-serang/), diakses 24 April 2015.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tanpa tahun. Keraton Kaibon Banten Lama, (Online), (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbserang/2014/10/13/keraton-kaibon-banten-lama/), diakses 24 April 2015.

Anonim. 2012. Situs Keraton Surosowan, (Online), (http://kekunaan.blogspot.com/2012/07/situs-keraton-surosowan.html), diakses 24 April 2015.

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( Masyarakat Multikultural )


Masyarakat Multikultural

Keberadaan Banten lama sebagai pusat kesultanan dan kota bandar yang dilengkapi dengan berbagai sarana diberitakan jelas oleh Belanda ketika mengirimkan ekspedisi pertamanya menuju Banten di bawah Corenelis de Houtman. Houtman menggambarkan keberadaan kota Banten sebagai keraton, masjid, alun-alun, pasar, pelabuhan, jalan, serta perdagangan di pasar Karangantu, perkampungan penduduk dari berbagai tempat di Indonesia. Kala itu, struktur masyarakat Banten amat multietnis, yakni yang berasal dari Melayu, Benggala, Gujarat, Abesenia, Cina, Arab, Pegu, Turki, Persia, Belanda, Portugis, dan para pedagang dari Nusantara seperti dari Ambong, Belanda, Maluku, Selor, Makasar, Sumbawa, Jaratan, Gersik, Pati, Sumatera, dan Kalimantan (Republika,tt).

Beragam etnis yang tinggal di wilayah Banten menyebabkan terjadinya interaksi antar bangsa dan budaya dalam masyarakat yang bisa berpotensi terjadinya integrasi maupun konflik sosial. Namun, bukti-bukti terjadinya konflik masih sangat minim ditemukan. Akan tetapi sebaliknya, bukti integrasi dan toleransi sangat mungkin bisa terlihat oleh peninggalan budaya di Banten. Seperti bangunan Vihara Avalokitesyara dan Masjid Pecinan Tinggi yang menampakkan adanya toleransi sosial dalam masyarakat yang saling menghormati dan memahami perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat.

Meskipun demikian, pengelompokkan tempat tinggal berdasarkan etnis juga dilakukan agar meminimalisir terjadinya konflik antar etnis yang bisa disebabkan oleh profesi maupun persaingan ekonomi.

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( "PRANATA SOSIAL MASYARAKAT" )


Sistem Sosial Masyarakat

Kota Banten menjadi ramai karena terletak pada jalur perdagangan internasional dan merupakan penghasil komoditas lada. Para pedagang asing yang datang ke Banten, selain berdagang juga mencatat keadaan kota. Oleh karenanya, di Banten utamanya di wilayah pelabuhan dagang terdapat berbagai macam bangsa yang singgah baik untuk berdagang ataupun juga untuk menetap sementara. Hal inilah yang memicu beragam hubungan sosial yang ada di Banten.

Hasil interpretasi beberapa sumber menyebutkan jika sistem sosial yang ada di Kesultanan Banten cenderung terklasifikasi ke dalam beberapa hierarki yang menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial. Juga dengan beragamnya bangsa yang menetap, bisa berpotensi pula terjadi diferensiasi sosial.
Stratifikasi sosial atau pengelompokkan sosial secara hierarki terdapat pada pola hubungan di Banten, dibuktikan dengan adanya tingkatan status yang dimiliki oleh setiap masyarakatnya. Hal ini paling menonjol terletak pada sistem peran sosial dalam struktur pemerintahan.

Status sosial yang dimiliki oleh seseorang, akan mempengaruhi peran dan caranya untuk berinteraksi dengan orang lain. Seperti halnya Sultan yang tidak semua golongan bisa berinteraksi langsung dengannya. Selain itu, hal ini juga terlihat dari toponim tempat tinggal oleh masyarakat yang terkelompokkan dalam pola pemukiman yang berkelompok berdasarkan oleh status sosial yang dimiliki, toponim tersebut adalah.


  • Kawangsaan (tempat tinggal Pangeran Wangsa)
  • Kapurban (tempat tinggal Pangeran Prabu)
  • Kamandalikan (tempat tinggal Pangeran Mandalika)
  • Kawiragunan (tempat tinggal Pangeran Wiraguna)
  • Kaloran (tempat tinggal Pangeran Lor)
  • Kasunyatan (tempat tinggal Ulama Istana)

Di kota Banten dibagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan status sosial, ekonomi, keagamaan, dan hierarki kekuasaan. Sementara itu, perkampungan orang asing atau pendatang ditentukan oleh masing-masing penguasa. Pekojan di barat pasar kuno Karangantu. Kemudian ada kampong orang Bali disebut Kebalen, dan tempat orang Cina disebut Pecinan. Pada waktu itu orang Portugis bergabung dengan orang Cina. Termasuk orang asing di Banten, yakni orang Melayu, Benggala, Gujarat, Abseninia (Boedhihartono, 2009:141).

  • Pajantran (tempat kaum penenun)
  • Kagongan (tempat pembuat gong)
  • Kasatrian (tempat bermukimnya para prajurit)

Toponim berdasar etnis, seperti.

  • Pakojan (perkampungan orang-orang Koja)
  • Pacinan (perkampungan orang-orang Cina)
  • Kebalem (perkampungan orang-orang Bali)
  • Karoya (perkampungan orang-orang Kroya)
  • Kasemen (perkampungan orang-orang Kasemen/Pribumi)

Toponim kegiatan ekonomi tertentu, seperti.

  • Pamarican (tempat menjual merica)
  • Pabean (tempat pelabuhan/tol pembayaran pajak)
  • Pasar Anyar (tempat pasar masyarakat)

Berkembangnya perekonomian Banten yang didukung oleh pelabuhan ramai dan kondisi geografis yang strategis, menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial, yakni ditunjukkannya perilaku golongan kesultanan, dan para bangsawan juga pegawai pemerintahan yang memiliki gaya hidup yang lebih Hedonistik (keduniawian). Kondisi tersebut didukung oleh temuan arkeologis pecahan-pecahan keramik Cina yang memiliki nilai jual tinggi yang ditemukan di situs-situs reruntuntuhan keraton dan di wilayah sekitar keraton yang dimungkinkan adalah wilayah bermukimnya pada bangsawan (Untoro, 2007).

Penemuan keramik Cina tersebut, mungkin tidak bisa sepenuhnya digunakan sebagai dasar untuk merekonstruksi sistem sosial masyarakat Banten. Akan tetapi, hal tersebut dapat dijadikan sebagai interpretasi sementara untuk melukiskan sistem sosial masyarakat Banten Islam. Sehingga, bisa saja hipotesis yang ada tersebut bisa diubah ketika ditemukannya bukti arkeologis maupun manuskrip baru.

Selain itu pula dapat disebutkan jika kesejahteraan sosial masyarakat Banten Islam mengalami penurunan diakibatkan oleh eksploitasi buruh yang disebabkan oleh peningkatan permintaan lada di Banten. Hal ini memicu semakin banyaknya masyarakat yang dijadikan sebagai Buruh ataupun Budak. Sehingga mendorong produktivitas komoditi Lada yang dihasilkan oleh Banten. Hal tersebut juga bisa memicu timbulnya kesenjangan sosial antara para bangsawan yang memegang laju perdagangan dan para kaum buruh yang bekerja ekstra. Secara sosial, para bangsawan akan bersikap semena-mena ketika penghasilannya semakin meningkat dan mulai berperilaku hedonis.

Pada masa Banten masih menjadi bagian dari Sunda Padjajaran, masyarakat Banten umumnya berbicara dengan menggunakan bahasa Sunda sebagai layaknya orang Baduy saat ini. Di kemudian hari sejak Banten diislamkan oleh Demak, maka mungkin perubahan bahasa digunakan di daerah ini, berubah karena kehadiran orang-orang Jawa atau pendatang dari Lampung sehingga pada saat ini ada tiga bahasa yang dikenal masyarakat Banten, yakni Jawa Pesisiran, Sunda ala Baduy, dan bahasa Lampung (Boedhihartono, 2009:145).

Perumahan di dekat keraton dan alun-alun adalah perumahan kaum bangsawan dan kerabat raja. Di sekeliling dalem ini terdapat perumahan bagi para pengikutnya, pola yang biasa dengan keadaan di Jawa. Orang asing pada umumnya menempati perumahan di luar tembok benteng. Di sisi barat terdapat Pacinan, yaitu perumahan orang-orang Cina. Di sini pula, di seberang sungai berjajar perumahan warga Belanda dan Inggris. Semua bangunan di kawasan perumahan tidak diperkenankan menggunakan bahan batu atau bata karena penguasa selalu mengkhawatirkan kemungkinan dijadikan bangunan pertahanan (Wirjomartono dkk, 2009:289).

Berkenaan dengan keadaan masyarakat, secara lugas Tjandrasasmita (dalam Untoro, 2007:27) memilahnya menjadi empat golongan, yakni.

1) Golongan Sultan dan Keluarganya, merupakan kelompok sosial yang hanya beranggotakan kalangan keturunan sultan yang masih memiliki hubungan darah dengan leluhur pendiri kesultanan, yakni para Sultan dan Bangsawan yang memiliki kekerabatan yang cukup dekat. Meskipun beranggotakan dengan jumlah yang sedikit, namun peranannya sangat penting dalam struktur birokrasi Kesultanan Banten

2) Golongan Elit, merupakan kelompok sosial yang beranggotakan para bangsawan, saudagar dan pedagang kaya, syahbandar dan pemegang kekuasaan yang memiliki peran penting di Kesultanan Banten. Golongan ini juga turut memiliki peran dalam pemerintahan dan perdagangan, namun tidak tergolong kelompok inti kesultanan.

3) Golongan non-Elit, merupakan kelompok sosial yang memiliki jumlah terbesar yakni golongan kaum pedangang, petani, nelayan, masyarakat biasa, golongan masyarakat asing, dan kaum-kaum di luar golongan elit dan kerajaan yang tergolong dalam tipe masyarakat Banten secara umum.
4) Golongan Budak, merupakan golongan pekerja kasar yang biasanya dijadikan sebagai buruh dan budak belian.

Selain adanya Stratifikasi dalam masyarakat, terdapat pula sistem diferensiasi sosial dengan pola kelompok yang horizontal. Terlihat di situs Banten Lama. Menurut data toponim yang terdapat klasifikasi kelompok berdasar profesi, seperti.

  • Kapakihan (tempat tinggal ulama)
  • Pajaringan (tempat membuat jarring atau jala)
  • Pratok (tempat pengrajin membuat tempurung kelapa)
  • Pasulaman (tempat tukang sulam)
  • Pamarangan (tempat membuat keris)
  • Pawilahan (tempat pengrajin bamboo)
  • Pakawatan (tempat membuat jala)

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( "PRANATA AGAMA" Aliran Keagamaan Dan Sarana Keagamaan )


Aliran Keagamaan

Menurut Babad Banten disebutkan Syariff Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dan 98 muridnya melakukan Islamisasi di Banten Hilir. Aliran keagamaan di Banten di pengaruhi oleh ajaran Sunni dengan yang di bawa oleh Sunan Gunung jati. Merujuk pada pernyataan Munandar (2009) jika di Jawa umumnya masyarakatnya menggunakan aliran tasawuf Sunni. Di Cirebon sendiri masyarakatnya cenderung lebih dekat dengan madzhab Imam Syafi’I yang dianut oleh penyebar agamanya yakni Syarif Hidayatullah. Sehingga bisa disimpulkan bahwa masyarakat Banten juga menganut Islam aliran Sunni dengan madzhab Syafi’I sesuai dengan ulama yang melakukan Islamisasi.

Komunitas Suni kemudian berkembang lewat tarekat dan pesantren oleh murid-murid dan keturunan Wali Songo. Peranan Tasawuf Suni ini dianggap lebih besar dalam proses Islamisasi di Indonesia sejak abad ke 13 M di Sumatra dan mengalami kemajuan yang besar di Jawa pada abad ke 15 M dan 16 M dengan tokohnya para Wali (Munandar, 2009).

Sarana Keagamaan

Sarana keagamaan secara materiil di tunjang dengan di bangunnya Masjid Agung Banten yang secara keseluruhan digunakan untuk kegiatan keagamaan. Kegiatan tersebut berupa sholat berjamaah lima waktu, sholat Jum’at, sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Pada sarana penyebaran agama Islam di Banten pada dasarnya tidak ada batas gender. Hal ini bisa dilihat di bangunan masjid yang terdapat Pawedon dan Pawestren yang merupakan tempat berwudhu untuk perempuan. Pembangunan Pawedon dan Pawestren merupakan bangunan tambahan yang mengikuti pola pembangunan masjid di Cirebon, yang diperuntukkan bagi kaum wanita untuk ikut serta dalam kegiatan keagamaan.

Secara non-materi, sarana pengembangan keagamaan adalah melalui tradisi. Tradisi yang dikembangkan pada masa Sultan Ageng Tirtayasa yaitu Tradisi Panjang Maulud sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut dengan berkreasi membuat sesuatu hiasan sesuai dengan kreativitas yang dimiliki. Penggagasan ide Panjang Maulud memiliki bertujuan untuk menyebarkan agama islam. Sesajian tersebut berupa makanan seperti nasi dan lauk pauk, yang kemudian di kumpulkan dan di doakan bersama-sama. Doa tersebut berupa Sholawat-sholawat untuk memuji nabi Muhammad SAW, setelah makanan tersebut di doakan kemudian di bagikan ke warga yang miskin, warga yang mengambil makanan tersebut di sebut gerojok yang sebenarnya adalah sebutan untuk anak kecil.

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( "PRANATA AGAMA" Saluran Islamisasi )


Saluran Islamisasi

Islam merupakan agama yang damai, maka proses Islamisasi yang dilakukan di Banten berjalan dengan baik. Berikut beberapa saluran yang menjadikan Agama Islam menjadi agama yang dianut oleh masyarakat dan pemimpin kesultanan Banten.

1. Melalui Penaklukan Pakuwan Padjajaran (Ekspansi Kerajaan)
Penaklukan Banten oleh Demak dan Cirebon dikarenakan Banten merupakan daerah kekuasaan Pakuan Padjajaran yang memeluk agama Hindu sejak dahulu menguasai jalur pedagang di Teluk Banten. Dalam Carita Parahyangan disebutkan “karena tidak terdatangi oleh musuh kasar dan musuh halus” (Sutjiatiningsih: 1995). Yang dimaksudkan musuh kasar tersebut adalah penaklukan Padjajaran oleh Sunan Gunung Jati yang mendapat bantuan dari Demak. Sedangkan musuh halus alah penyebaran agama Islam di Banten. Disebutkan pula dalam Carita Parahyangan orang-orang yang menganut agama Islam dianggap orang yang melanggar Sanghyang Siksa sehingga hidupnya tidak tenteram (Sutjiatiningsih: 1995).

Berita mengenai Tome Pires bahwa di ujung timur kerajaan Sunda sudah banyak masyarakatnya yang beragama Islam. Dengan berhasil direbutnya Banten dari tangan Padjajaran proses Islamisasi semakin mudah dan bisa mendirikan kota kerajaan yang baru. Pada mulanya ibu kota Banten terletak di Girang, kemudian oleh Maulana Hasanuddin sebelum menjadi raja dipindahkan ke Surowan. Karena menurut kepercayaan masyarakat Jawa ibukota yang kalah dalam serangan sangat tabu untuk ditinggali kembali sehingga dipindahkanlah ibukota ke wilayah yang baru. Dari letak geografisnya letak Surosowan mendekati daerah pantai yang memudahkan proses pengawasan perdagangan dan administrasi di Banten.

2. Kesenian
Proses islamisasi dengan media dakwah adalah saluran yang sangat mudah sebab tidak mengandung unsur pemaksaan namun dapat diterima oleh masyarakat sehingga lebih efektif. Selain itu saat pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1652) berkembang kesenian debus yang bertujuan untuk melatih prajurit Banten dalam ketabahan dan ketangkasan. Kesenian tersebut merupakan atraksi yang bernafaskan Islam karena di iringi degan doa-doa zikir kepada Allah SWT. Kesenian debus sebenarnya di peruntukan untuk masyarakat Banten yang masih menganut agama Hindu dan Budha untuk menarik simpati agar berkeinginan memeluk agama Islam secara sukarela dan ikhlas.

3. Pendidikan
Setelah memindah ibukota kerajaan yang baru dari pedalaman ke wilayah pesisir Maulana Hasanuddin segera membangun beberapa sarana pendukung pemerintahan seperti keraton Surosowan, Masjid Agung, alun-alun dan pasar. Proses penyebaran agama Islam tidak hanya berhenti sampai di kesenian dan penyerangan, proses dakwah Islam juga dilakukan dengan saluran pendidikan. Pada mulanya saat pertama kali di Banten Sunan Gunung Jati membangun sebuah masjid Pacinan Tinggi dengan Maulana Hasanuddin dibantu oleh para santrinya. Pembangunan masjid pertama ini diperuntukkan untuk memyebarkan ajaran agama Islam di Banten. Selain itu sebelum berdirinya Masjid Agung Banten, dibangun masjid dan Pesantren Kasunyatan yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan pembelajaran Agama Islam. Dengan kedatangan para mubaligh dan para wali menambah proses pendidikan keagamaan semakin cepat.

Bukti kebesaran perkembangan agama Islam dengan banyaknya orang yang di luar Banten mengenyam pendidikan Islam di Banten. Pendidikan tersebut juga di tunjang adanya pesantren dan kantung-kantung pembelajaran Islam. Salah satu pesantren tersebut adalah Pesantren Kesunyatan yang di perkirakan memiliki masjid yang lebih tua dari Masjid Agung Banten.

4. Perdagangan
Sebagai bandar perdagangan yang ramai sebelum datangnya Islam, sudah banyak bangsa asing yang berkunjung ke Banten. Para pedagang tersebut salah satunya berasal dari Arab dan Gujarat yang dimungkinkan menyebarkan pula agama Islam selama berdagang dan persinggahannya. Penyebaran agama tersebut dilakukan disela singgah dalam menunggu waktu yang tepat untuk berlayar atau sekedar mencari untuk perlengkapan perbekalan.

5. Penikahan
Jalur Islamisasi secara Amalgamasi ini terbilang cukup efektif, sebab ketika seorang wanita pribumi yang dinikahi oleh pedagang muslim, ia terlebih harus dahulu memeluk agama islam. Jalan lainnya adalah dengan menikahi putri raja yang berkuasa. Sebab apabila seorang pemimpin memeluk agama tertentu maka masyarakatnya pun mengikuti agama tersebut. Bukti adanya proses saluran pernikahan adalah pada saat pemerintahan Maulana Yusuf melakukan penyerangan ke pusat Pakuwan (Bogor) dengan bekerjasamanya antara panglima pasukan Banten dengan pegawai Pakuwan yang membukakan pintu kerajaan agar pasukan Banten dapat masuk. Pengkhianatan yang dilakukan oleh pegawai ini membuktikan bahwa ada Sunda Islam. Sunda Islam tersebut melakukan Islamisasi dengan pernikahan yang saudaranya mengabdi di Banten dan saudaranya mengabdi di Pakuwan. Selain itu para bangsawan Pakuwan diampuni dengan syarat harus masuk Islam tanpa menghilangkan pangkat dan kedudukannya.

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN BANTEN: ABAD XVI-XIX M ( "PRANATA AGAMA" Islamisasi Banten )


Islamisasi Banten

Islamisasi Banten, setelah diawali oleh Sunan Ampel, kemudian dilakukan oleh Syarif Hidayaullah (Sunan Gunung Jati). Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang usaha Syarif Hidayatullah bersama 98 orang muridnya mengislamkan penduduk Banten. Secara perlahan-lahan Islam dapat diterima masyarakat sehingga banyak orang masuk Islam, bahkan Bupati Banten yang merasa tertarik dengan ketinggian ilmu dan akhlak Syarif Hidayatullah, menikahkan adiknya, yang bernama Nyai Kawunganten, dengan wali penyebar islam di Tatar Sunda ini. Dari perkawinan ini lahirlah dua anak yang diberi Ratu Winahon (Dalam sumber lain disebut Wulung Ayu) dan Hasanudin (Lubis, 2003).

Dalam Babad Banten diceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin), terus berusaha untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Mereka pergi kearah selatan ke Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 ajar yang setelah mendengar ajaran Islam disampaikan ayah dan anak itu, semuanya menyatakan islam di Lereng gunung Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya. Setelah ilmu yang dikuasai Hasanuddin sudah dianggap cukup, Sunan Gunung jati memerintahkan supaya anak itu berkelana sambil menyeberkan agama Islam kepada penduduk negeri (Lubis, 2003).

Di Kesultanan Banten diterapkan hukum Islam secara ketat dan telah terjalin hubungan dengan penguasa Mekah. Para raja-raja juga mendapat gelar “sultan”, pemberian dari dari Syarif Mekah. Di samping itu banyak ulama-ulama Banten yang belajar ke Mekah dan pulang untuk mengabdi pada kesultanan menjadi Qhadi atau jabatan-jabatan keagamaan lainnya maupun pendidik bagi masyarakat. Kemajuan lembaga-lembaga pendidikan Islam dan tarikat di Banten, menjadikan negeri itu kiblat kedua (setelah mekah) ilmu keagamaan Islam bagi masyarakat Betawi. Banyak pula orang Betawi yang belajar di Banten dan kemudian kembali ke Jayakarta menjadi Ulama, hingga kemudian menjadi pendidik agama bagi masyarakat (Jakarta.go.id, 2010)

Sunan Gunung Jati dengan putranya Maulana Hasanuddin berusaha mengislamkan Banten yang menjadi daerah kekuasaan Pakuan Padjajaran. Islam nantinya akan mengalami akulturasi dengan kebudayaan atau keyakinan yang sudah dianut masyarakat sebelumnya yaitu Sunda Kawitan yang mempercayai hukum adat istiadat sebagai pengatur kehidupannya yang bersifat konservatif. Masyarakat yang tidak menerima akan kedatangan Islam, bermukim di Sungai Ciujung Pegunungan Kendeng yaitu Suku Baduy yang merupakan suku asli Sunda Banten.